Selamat Datang!

Blog Bedah Umum FKUI merupakan sarana berbagi informasi mengenai tatalaksana kasus bedah, karya tulis para residen, informasi akademis, wacana dunia bedah hingga kegiatan-kegiatan kami. Blog ini dibuat pada tahun 2009 dan dikelola oleh residen Ilmu Bedah FKUI. Diharapkan blog ini bisa menjadi sarana berbagi kabar, informasi, serta berdiskusi antar konsulen, trainee, dan residen bedah baik dari FKUI maupun fakultas kedokteran lain di Indonesia. Semoga kehadiran blog ini dapat memperkaya wawasan dan keilmuan kita sebagai Dokter Spesialis Bedah maupun calon Dokter Spesialis Bedah masa depan. Semoga bermanfaat!

Senin, 14 Juli 2014

Penanganan Bedah pada Pankreatitis Terinfeksi



Penanganan Bedah pada Pankreatitis Terinfeksi
Alldila Hendy PS, Novi Kurnia, Agi Satria Putranto*

*Divisi Bedah Digestif Departemen Ilmu Bedah RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo


Berdasarkan beberapa literatur, 15-30% dari semua pankreatitis dapat berkembang menjadi nekrosis pankreatitis terinfeksi atau Infected Pancreatitis Necrosis (IPN), yang apabila tidak tertangani dengan baik dapat berakibat sepsis. Risiko mortalitas dari 40-70% pankreatitis terinfeksi lebih besar 20% daripada pankreatitis yang steril atau tidak terinfeksi. Patogen yang paling umum ditemukan pada nekrosis pankreatitis terinfeksi adalah bakteri gram negatif, yaitu Escherichia coli, diikuti bakteri gram positif, bakteri anaerob dan terkadang terdapat infeksi jamur terutama pada pasien dengan riwayat penggunaan antibiotik jangka panjang. Diagnosis IPN dapat ditegakkan dengan CT Scan berdasarkan keberadaan gas retroperitoneal atau kultur positif pada necrotic fine needle aspirates (FNA).

Penanganan gold standard pada IPN adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan terbukti menurunkan angka mortalitas hingga 20%. Sedangkan pada nekrosis pankreatitis steril, terapi pilihan yaitu manajemen konservatif kecuali terdapat perburukan klinis meskipun terapi maksimal atau terjadi pankreatitis akut fulminan.

Tabel indikasi dan kontraindikasi open necrosectomy

Timing of Surgery
Tindakan pembedahan harus memperhatikan waktu-waktu tertentu, yaitu tidak direkomendasikan sebelum 14 hari setelah awitan penyakit, kecuali ada indikasi khusus seperti Multi Organ Failure (MOF) yang tidak menunjukkan perbaikan meskipun dengan terapi maksimal dan apabila terdapat sindrom kompartemen abdomen. Waktu pembedahan yang direkomendasikan adalah diatas 2-3 minggu setelah awitan penyakit timbul atau selambat-lambatnya lebih dari 4 minggu, karena diharapkan proses nekrosis sudah tidak meluas dan  tampak jelas batas antara daerah nekrosis dengan yang sehat, sehingga daerah nekrosis dapat ditentukan untuk direseksi dan dapat membantu menurunkan risiko perdarahan.

Tindakan Pembedahan
Terdapat empat prinsip teknik dalam tindakan pembedahan (open necrosectomy) pada pankreatitis terinfeksi, yatiu:
      1.      Nekrosektomi dikombinasikan dengan Open Packing
      2.      Relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang
      3.      Lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac dan retroperitoneum
      4.      Teknik closed packing

Nekrosektomi secara klasik harus dilakukan secara open surgery. Debridemant yang adekuat biasanya akan memberi hasil yang baik, sehingga cukup satu kali operasi saja. Insisi garis tengah longitudinal dapat dilakukan sehingga seluruh ruang abdomen dapat diakses, memungkinkan irigasi seluruh ruang abdomen, dan dapat dilakukan ileostomi diversi jika nekrosis melibatkan area gastrokolika. Setelah memasuki ruang abdomen, ligamen gastrokolika dan duodenokolikan dipisahkan mendekati kurvatura yang paling lebar dari perut sehingga akan tampak pankreas. Ketika sudah dapat memfokuskan bagian yang nekrosis lalu segera dilakukan debridemant. Tindakan nekrosektomi terbuka (open necrosectomy) harus menghindari kesalahan dalam pengangkatan jaringan yang masih vital dan mengurangi komplikasi perdarahan yang berlebih. Setelah semua dilakukan, pastikan debris telah dibersihkan dari ruang retroperitoneal dengan lavage beberapa liter normal salin.

A.      Teknik Nekrosektomi Dikombinasikan dengan Open Packing
Teknik ini dilakukan berdasarkan prinsip reoperasi berkelanjutan, dengan lavage terbuka pada area nekrosis. Eksplorasi manual dan inspeksi visual pada daerah semua ruang peritoneal dilakukan melalui insisi subkostal kiri untuk menentukan luasnya nekrosis. Setelah debridemant, lesser sac dipasang sejenis cincin dengan bahan non-adherent untuk melindungi permukaan intestinal yang berdekatan dan mencegah luka, kemudian dikemas. Kateter jejunostomi dipasang sebagai jalur pemberian nutrisi. Abdomen dibiarkan terbuka bersama dengan drain yang telah terpasang dan pasien kembali lagi ke kamar operasi tiap 24 – 48 jam untuk debridemant disertai pengemasan kembali (repacking) sampai tidak ada lagi nekrosis dan tampak jaringan granulasi sehat. Setelah itu abdomen yang sebelumnya dibiarkan terbuka dapat ditutup, dengan atau tanpa lavage pada rongga peritoneum.

B.       Teknik relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang
Setelah memasuki ruang peritoneal melalui insisi garis tengah secara vertikal lalu telusuri hal-hal berikut: eksplorasi secara sistematik dan inspeksi visual seluruh bagian pankreas serta eksplorasi untuk menentukan seberapa luas nekrosis pada kedua saluran parakolika, bagian akar usus besar mesenterika di bawah mesokolon transversum dan jaringan suprapanreatic retroperitoneum. Memasuki lesser omental sac, dapat dilakukan melalui ligamen gastrokolika ditelusuri secara manual untuk mengidentifikasi kavitas apakah mengandung nekrosis di dalam lesser sac. Setelah ruang nekrosis terpapar, dilakukan nekrosektomi kemudian diikuti dengan irigiasi ekstensif pada daerah yang terdapat debris lalu dinding abdomen ditutup hingga fascia. 48 jam kemudian dilakukan reoperasi dengan teknik yang sama, dan dilakukan lagi dengan interval 48 jam hingga nekrosis tidak ada lagi. Kemudian ditutup secara definitif dengan terpasang drain diatasnya. Drain diletakan sepanjang dibawah hepar dan posterior dari fleksura hepatika di sisi kanan dan posterior dari fleksura inferior splenic hingga sisi kiri limpa.

C.       Teknik Lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac dan retroperitoneum
Setelah memasuki ruang peritoneal melalui insisi garis tengah secara vertikal, lesser sac dibuka dengan memisahkan ligamen duodenokolika dan gastrrokolika mendekati kurvatura terbesar perut dibagian inferior dari pembuluh darah gastroepiploika. Semua cairan yang terkumpul dibuka dan dievakuasi dengan suction. Debridemant pada pankreas nekrosis dilakukan dengan blunt digital dissection. Setelah debridemant pada lesser sac, jaringan nekrosis secara sistematis dilihat pada daerah retroperitoneum dibelakang kolon transversum, ascending dan descending, lalu dibawah menuju Gerota’s fascia dan semua nekrosis dibersihkan dengan blunt dissection. Setelah nekrosektomi, area panrkeas dan ruang retroperitoneal diirigasi dengan normal salin. Setelah irigasi dan hemostasis, empat kateter drainase (dua tipe double-lumen Salem ukuran 20-24 Fr dan dua tipe single-lumen karet silikon ukuran 28-32 Fr) yang akan dipasang masing-masing sisi sejumlah dua kateter, yang langsung berhubungan dengan sisi kontralateral dari ruang peripankreatik dan diletakkan dengan kateter tip pada kepala dan ujung ekor pankreas, dibelakang kolon ascending dan descending. Lumen yang berukuran kecil digunakan untuk aliran kedalam lavage sedangkan ukuran besar untuk aliran keluar. Setelah meletakan drainase, lalu ligamen duodenokolika dan gastrrokolika dijahit bersama untuk menciptakan lavage tertutup. 35 sampai 40 Liter cairan lavage digunakan pada hari pertama, volume dapat dikurangi tergantung pada tampilan keluaran cairan dan klinis. Drainase dapat dilepas dalam 2-3 minggu berikutnya.

D.   Teknik dengan Closed Packing
       Tujuan teknik ini adalah untuk melakukan operasi cukup satu kali saja dengan cara debridemant dan melepaskan jaringan nekrosis yang terinfeksi. Tujuan lainnya adalah meminimalisir kebutuhan operasi berulang dan drainase pankreas yang berlanjut. Biasanya ruang peritoneal dimasuki melalui insisi garis tengah secara vertikal yang dapat memberikan pajanan lebih baik dan penempatan drainase yang optimal. Kolon transversum diangkat kearah depan dan mengakses lesser sac dengan melalui mesokolon sebelah kiri. Saat nekrosis sangat luas, akan terdapat benjolan pada sisi kiri mesokolon akibat proses nekrosis luas tersebut. Setelah menemukan sekumpulan cairan dan jaringan nekrosis maka segera evakuasi dan kirim untuk dilakukan kultur. Apabila nekrosis meluas hingga ke sisi kanan lesser sac, perlu dilakukan insisi pada mesokolon sebelah kanan, pembuluh darah kolika media diklem, dijahit dan dipisahkan. Nekrosektomi dilakukan secara tumpul dengan jari atau dengan spons. Setelah seluruhnya dilakukan nekrosektomi/ debridemant, pankreas diirigasi dengan beberapa liter normal salin. Berikutnya, Penrose drainase digunakan untuk mengemas secara luas. Jumlah drainase ini tergantung ukuran dari ruang kavitas pasca tindakan debrideman, dan akan dilepas 5-7 hari setelah pasca operasi. Bila drainase dipasang dengan jumlah lebih dari satu maka dapat dilepas satu hari satu drain hingga seterusnya. Kemudian insisi di abdomen ditutup.

Gambar open necrosectomy

Keuntungan dan Kekurangan Teknik-Teknik Open Necrosectomy
Teknik operasi “Open Packing” dan “relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang” dihubungkan dengan penurunan secara signifikan angka rekurensi sepsis abdominal pasca tindakan operasi tersebut dibandingkan dengan single necrosectomy. Namun bagaimanapun juga kedua teknik itu memanipulasi secara berulang sebelum penutupan dinding abdomen sehingga meningkatkan insidensi komplikasi pasca operasi secara signifikan. Terdapat korelasi antara pembedahan intervensi berulang dengan tingginya insidensi fistula usus besar, fistula pankreas, obstruksi gaster, hernia insisional dan perdarahan dari kavitas yang dilakukan debridemant berulang sehingga terjadi komplikasi iatrogenik dibandingkan dengan teknik lavage tertutup berkelanjutan dan teknik “closed packing”
Teknik operasi yang paling sering dilakukan adalah “nekrosektomi dengan lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac”, karena perbedaan utama dari teknik-teknik yang ada bahwa evakuasi debris dan cairan inflamasi secara berulang hingga bersih dapat meningkatkan keberhasilan sehingga reoperasi dapat jarang dilakukan dan menurunkan insidensi fistula.

Tindakan Pembedahan Nekrosektomi Minimal Invasif
Terdapat dua tindakan pembedahan dengan cara minimal invasif, yaitu minimal access retroperitoneal pancreatic necrosectomy (MARPN) dan video-assisted retroperitoneal debrideman (VARD). Kedua prosedur tersebut dilakukan dengan bantuan secara radiologi dalam menggunakan kateter drainase.

Pada MARPN, nephroscope dimasukan menuju sediaan yang terinfeksi setelah dilakukan pelebaran jalur drainase hingga ukuran 30 Fr dengan bantuan flouroskopi. Debrideman dibawa keluar menggunakan irigasi jet dan alat suction. Prosedur ini diulang jika pasien gagal mengalami perbaikan dan dicurigai masih terdapat sisa nekrosis terinfeksi, biasanya tiga sampai lima kali dibutuhkan untuk mencapai nekrosektomi yang adekuat. Beberapa literatur dengan studi kohort, MARPN terbukti lebih baik dalam menurunkan angka mortalitas dan kompliksi dibandingkan dengan nekrosektomi terbuka.

Teknik VARD dilakukan dengan cara membuat insisi 5 cm di subcostal pada bagian tubuh kiri di dekat titik keluar drain perkutaneus. Lalu drain menelusuri hingga mendekati sediaan yang terinfeksi, kemudian dibersihkan dengan suction dan forsep panjang, sebuah kamera laparoskopi digunakan melalui insisi yang telah dibuat sebelumnya. Sistem kamera laparoskopi ini membantu sebagai penunjuk jalan dan memberikan gambaran visual secara jelas pada bagian yang akan dinekrosektomi.


Endoskopi transluminal drainase atau nekrosektomi adalah teknik yang dikembangkan berdasarkan teknik diatas. Dengan bantuan endoskopi, gaster atau dinding duodenum dipungsi atau ditembus untuk mencapai dinding yang nekrotik. Lalu dimasukan kateter nasocystic kedalam ruangan nekrotik tersebut untuk dilakukan irigasi berkala.

Percutaneus catheter drainage (PCD), merupakan langkah pertama pada pendekatan penanganan pankreatitis terinfeksi sebelum melangkah ke langkah selanjutnya, yaitu nekrosektomi minimal invasif. Kateter dimasukan dapat dengan bantuan CT-Scan maupun dengan USG, namun penggunan USG sangat bergantung dengan operator, dan gambar tampak tidak optimal sebagai penanda. Lokasi tempat memasukan kateter PCD melalui rute retroperitoneal sebelah kiri atau kanan tergantung kumpulan nekrosis terinfeksi berada dimana. PCD yang dilakukan secara dini dapat meningkatkan kondisi pasien, dimana 33% pasien hanya membutuhkan tindakan PCD dan hanya 17% berlanjut kepada nekrosektomi minimal invasif. Hasil positif pada FNA selama 2-3 minggu pertama akan menjadi dasar untuk tindakan PCD, walaupun PCD yang dini harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan kondisi steril pankreatitis menjadi terinfeksi.
 
Terapi Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas untuk mengurangi angka infeksi cukup terbukti, namun tidak meningkatkan angka harapan hidup. Bagaimana pun juga, pemberian antibiotik dengan penetrasi yang baik, seperti carbapenem, quinolon dan metronidazole, penting untuk mencegah infeksi pada pankreatitis tidak terinfeksi atau steril. Lamanya pemberian antibiotik masih dalam perdebatan, secara umum antibiotik dapat diberikan selama 2 minggu karena apabila diberikan hingga lebih dari 4 minggu dapat menyebabkan terjadinya infeksi jamur.

Algoritma Penanganan Pankreatitis Terinfeksi


 
 Referensi
1.      Vasiliadis K, dkk. The role of open necrosectomy in the current management of acute necrotizing pancreatitis: a review article. Hindawi Publishing Corporation. 2013; 32(4):1-10.
2.      Da Costa, dkk. Staged multidisciplinary step-up management for necrotizing pancreatitis. BJS. 2014; 101: 65-79.
3.      Nilesh, Agarwal P, Gandhi V. Management of severe acute pancreatitis. Indian J Surg. 2012; 74(1):40-6.
4.      Wronski M, dkk. Ultrasound-guided percutaneous drainage of infected pancreatic necrosis. Surg Endosc. 2013; 27:2841-8.
5.      George HS, dkk. Current trends in the management of infected necrotizing pancreatitis. Bentham Science Publishers. 2010; 10: 9-145

Jumat, 25 April 2014

Serah Terima Jabatan (SERTIJAB) Stase Bola April 2014

Hari Minggu, tanggal 6 April 2014 merupakan salah satu hari spesial bagi tim bola IKABI JAYA dan para residen bedah dari Departemen Bedah FKUI-RSCM. Setelah latihan bola rutin di Lapangan Lebak Bulus, seluruh crew bola berkumpul di Bakmi Gajah Mada, Pondok Indah Mall untuk meghadiri acara SERTIJAB kepengurusan tim bola dari angkatan Merah Marun kepada angkatan Kuning.





Acara dimulai dengan makan siang bersama, yang kemudian dilanjutkan dengan pembukaan acara oleh MC dari Kuning (dr. Novi Kurnia). Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari dr. Arief, yang menceritakan perlunya pertandingan olahraga dalam acara PIT IKABI XX yang akan diselenggarakan di Bali pada 20-24 Oktober 2014 dengan menjunjung tinggi sportivitas, kebersamaan, dan kekompakan bagi seluruh anggota IKABI JAYA. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sambutan SERTIJAB oleh dr. Berti sebagai COC bola dan dilakukan penyerahan bola kepada dr. Arsan sebagai chief bola angkatan Merah Marun dan selanjutnya diserahkan kepada dr. Aris sebagai chief bola angkatan Kuning. Penyerahan bola ini merupakan simbolisme serah terima jabatan yang telah menjadi tradisi di bagian Bedah FKUI.


Acara kemudian dilanjutkan dengan games berupa lomba makan bakmie pedas. Pemenang dari lomba ini adalah dr. Caroline dan dr. Ronald. Kepada kedua pemenang lomba games ini, mendapatkan hadiah masing-masing satu buah powerbank.

Setelah acara games tersebut, dilanjutkan dengan persembahan lagu yang diberikan oleh angkatan Kuning dan dilanjutkan oleh angkatan Merah Marun. Persembahan lagu ini sukses memukau semua pengunjung yang ada. Acara ditutup dengan pembacaan doa oleh dr. Setiagung dan dilanjutkan dengan foto bersama.

Minggu, 02 Maret 2014

Scrotal Bladder Hernia

Rian Fabian , Arry Rodjani*
Surgery Department Faculty Medicine University of Indonesia
*Urology Departement University of Indonesia



PENDAHULUAN
Sliding hernia buli sangat jarang ditemukan. Kasusnya berkisar antara 1-4% dari semua hernia inguinalis1. Kejadian yang jarang terjadi dimana ditemukan adanya bagian dari buli saat dilakukan pembukaan kantung hernia. Bahkan hernia buli yang turun sampai ke scrotum lebih jarang lagi1. Beberapa kasus di literature mengatakan bahwa gejala pada hernia ini tidak jelas, dan kasus ini ditemukan secara tidak sengaja disaat dilakukan pemeriksaan radiografi2. Memang ada gejala yang khas dari pasien ini berupa buang air kecil yang tidak lampias. Pasien menekan scrotumnya agar buang air kecilnya tuntas. Hernia buli ini berhubungan juga dengan beberapa komplikasi seperti infeksi saluran kemih, dan infeksi pada buli itu sendiri. Hernia ini merupakan masalah tersendiri bagi ahli bedah, dikarenakan insiden terjadinya kelainan ini sangat kecil. Pemeriksaan penunjang sangat penting dalam kasus ini, seperti pemeriksaan usg dan sistografi. Penatalaksanaan pasien berupa tindakan bedah, dapat dilakukan repair buli atau eksisi divertikel. Tujuan dari paper ini adalah untuk memberikan gambaran tentang hernia buli. 

LAPORAN KASUS
Laki laki 47 tahun datang ke poli urologi RSCM jakarta dengan keluhan terdapat benjolan pada kantung kemaluan kanan yang hilang timbul sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien juga mengeluh gangguan berkemih dan LUTS (Lower urinary tract symptoms). Pasien mempunyai riwayat operasi hernia di sebelah kanan 30 tahun yang lalu dan 3 tahun setelah itu terjadi relaps hernia. Ketika itu hernia yang relaps tersebut dibiarkan dan 3 bulan yang lalu pasien akhirnya bersedia dilakukan operasi terhadap hernia yang relaps disebelah kanan karena hernia tidak bisa keluar dari kantung hernia, berwarna merah mengkilat dan nyeri. Saat itu pasien di operasi dengan menggunakan Mesh. 1 bulan setelah operasi, pasien merasakan terjadinya gangguan buang air kecil, seperti buang air kecil tidak tuntas, apalagi saat berdiri. Namun bila pasien berbaring dan BAK dengan pispot, BAK dirasakan lancar. Pasien merasakan benjolan pada kantung kemaluan kanan timbul kembali, dan mengecil saat pasien selesai berkemih. BAB lancar, tidak ada mual muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan pada kantung kemaluan sebelah kanan yang hilang timbul, konsistensi kistik, dapat hilang saat di tekan. Dan pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang berupa  pemeriksaan darah lengkap, USG, dan sistografi.
Dari hasil dari pemeriksaan didapatkan bahwa urin lengkap dalam batas normal dan pemeriksaan darah lengkap juga dalam batas normal. Pada pemeriksaan usg didapatkan divertikel buli dengan kantong divertikel dalam scrotum. Lalu pada pemeriksaan sistografi, didapatkan adanya divertikel buli di dalam scrotum. Dan saat itu pasien mulai didiagnosis dengan bladder hernia. Direncanakan untuk dilakukan reduksi hernia atau divertikelektomi bila hernia tidak dapat direduksi. 



Gambar.1. Gambaran sistogram yang menggambarkan adanya kandung kemih yang berada di kantung hernia scrotalis

Gambar.2. sistogram menggambarkan adanya herniasi kandung kemih ke hemiscrotum kanan melewati kanalis iguinalis
 
 
 Gambar.3. Pada intra op ditemukan isi kantung hernia adalah sebagian dari kandung kemih

Pasien direncanakan untuk dioperasi untuk herniotomi dan reduksi dari buli. Hasil yang didapatkan intra operasi bahwa pada saat kantung dibuka tampak isi hernia berupa sebagian buli, pasien ini adalah, bahwa pasien ini tidak dapat di repair, dan didapatkan bahwa isi hernia tersebut adalah sebagian dari buli, lalu diputuskan untuk dilakukan sistektomi parsial. Yaitu eksisi sebagian dari buli yang menjadi bagian dari hernia. Pasien dirawat dengan menggunakan kateter untuk proteksi buli. Setelah stabil, pasien dirawat jalan dengan menggunakan kateter. Pada perawatan jalan di poli urologi RSCM, pasien dilepas kateternya dan pulang tanpa kateter. Selama dirawat jalan, pasien tidak ada keluhan benjolan lagi, dan merasa menjadi lebih sering berkemih.

DISKUSI
Sliding hernia adalah protusi organ retroperitoneal melalui pembukaan pada dinding abdomen, dimana kantung hernianya terbuat dari sebagian isi hernia tersebut. Organ dalam sliding hernia dapat berupa cecum, kolon asedens, ataupun appendix pada sisi kanan, kolon sigmoid pada sisi kiri, atau uterus, tuba fallopian, ovarium, ureter dan buli – buli pada sisi manapun1.

KLASIFIKASI & PATOFSIOLOGI
Berdasarakan tipe sliding hernia, ada 3 tipe sliding hernia yang diketahui, tipe I, II, dan III.
·     -Tipe I: Tipe yang paling sering ditemukan pada kasus – kasus sliding hernia. Sebuah hernia dimana sebagian dari kantungnya terbuat dari dinding sebuah organ internal. 95% dari kasus sliding hernia adalah sliding hernia tipe I. Tipe ini juga dikenal sebagai intramural, parasaccular, dan visceroparietal (Gambar. 4).
·       -Tipe II: 5% dari kasus – kasus sliding hernia adalah tipe ini, dimana hernianya berisikan organ retroperitoneal dan mesenterinya, dan mesenteri ini membentuk sebagian dari kantung peritoneal. Tipe ini juga disebut intrasaccular, extrasaccular (a misnomer), dan visceromesenteric (Gambar. 5).
·      -Tipe III: Tipe yang sangat jarang ditemukan, hanya ditemukan satu kasus dari 8000 – 10000 kasus hernia. Hernia ini adalah sebuah pertusi dari organ itu sendiri, kantung peritoneal sangat kecil ataupun dapat tidak ditemukan. Tipe ini adalah tipe yang paling berbahaya dan dapat menipu. Diperlukan index asumsi yang sangat tinggi dalam mendiagnosa kondisi ini. Tipe ini juga sering dikenal dengan extraperitoneal, sacless, dan extrasaccular hernia (Gambar 6). (2,3,4)

  Gambar.4 Sliding hernia tipe 1. Aspek posterolateral dari kantung terbuat dari cecum dan kolon asendens.

Gambar.5 Sliding hernia tipe II. Mesenteri membentuk sebagian dari dinding posterior kantung dan juga dinding anterior cecum juga membentuk sebagian dinding posterior kantung.

Gamb.6. Sliding hernia tipe 3. Kantung hernia sangatlah kecil dan gampang sekali terlupakan. Tipe ini adalah tipe yang paling berbahaya, juga paling jarang.

Patofisiologi sliding hernia belum sepenuhnya diketahui. Mekanisme terjadinya “sliding” sebuah organ tidak dapat dijelaskan secara penuh. Yang dapat dipastikan adalah melebarnya cincin inguinal sebagaimana ditemukan pada hernia inguinal. (1)
Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya herniasi buli, antara lain meningkatnya tekanan intraabdominal sehingga mendorong buli melalui dinding inguinal posterior.  Dan juga adanya obstruksi pada saluran kencing yang menyebabkan distensi buli sehingga dinding buli berhubungan langsung dengan lubang hernia (2,3,4)

TANDA – TANDA KLINIS
Sliding hernia buli lebih sering ditemukan secara insidentil saat operasi hernia inguinal. Ini dikarenakan hernia buli jarang menimbulkan gejala yang khas dan biasanya asimptomatik. Gejala yang biasanya dikeluhkan oleh pasien adaah gejala – gejala yang berhubungan dengan saluran kencing, seperti disuria, frequency, urgency, nocturia dan hematuria. Satu gejala yang khas adalah ‘miksi dua phase’, yaitu urine dalam buli yang normal keluar dahulu, dilanjutkan dengan pengosongan buli yang herniasi.(2-5)
Tanda – tanda klinis lainnya adalah adanya masa di scrotum yang berfluktuasi saat miksi dan mengecil setelah miksi. Urine masih dapat keluar bila hernia diberi tekanan secara manual. Stagnasi urine pada buli di kantung hernia sering kali juga menyebabkan infeksi saluran kemih berulang. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus hernia buli juga ditemukan gagal ginjal akut yang disebabkan oleh obstruksi saluran kencing akut. (2,3,5,7)

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Sistografi adalah suatu ‘gold standard’ untuk mendiagnosa keadaan hernia buli(2,8).  Andac et al (2002) meneliti penggunaan Computed Tomography (CT) scan dalam mendiagnosis hernia buli dan mereka menunjukan bahwa CT memberikan outline yang lebih detail dan memberikan informasi yang lebih daripada cystography.(2)
Pada retrograde cystography, yang merupakan modalitas radiologi dengan nilai diagnostik tertinggi, dapat ditemukan lokasi yang abnormal dari organ yang herniasi dan ketidak simetiran, protursi ureter diluar tulang pelvis, dan indentasi dari dinding buli. Dengan metode ini, herniasi buli tetap terlihat pada saat miksi. Retrograde pyelography dapat dilakukan pada kasus – kasus dimana isi hernia mengadung ureter juga (2,4,5)
Pada pemeriksaan CT, ureter dapat terlihat walau tidak dengan kontras media, menjadikan CT lebih berguna pada kasus herniasi ureter dengan penemuan retrograde pyelography yang normal. Di samping itu, pada kasus – kasus hernia dengan leher hernia yang sempit, pengaliran kontras media dapat terhambat sehingga susah membuat diagnosis. Namun pada CT leher kantung hernia dan herniasi buli di sampingnya dapat membantu membuat diagnosis bahkan tanpa kontras media. Satu lagi keunggulan CT adalah sebagian usus yang ikut terherniasi dapat terlihat dengan teknik ini (2,5)
Pada excretory urografi sebuah pertusi dari dinding buli terlihat mengarah kebawah. Tanda – tanda indirek adalah adanya buli kecil yang tidak simetris, visualisasi yang tidak koplit dari dasar buli ataupun perpindahan lateral dari ureter distal. Hal yang penting diingat dalam penggunaan teknik ini adalah posisi pasien. Pemeriksaan ini pada pasien dengan posisi terlentang sering tidak menunjukan herniasi buli, namun pada posisi berdiri dapat mendeteksi keadaan tersebut 100%. (3,4,8)
Verbeeck et al (2005) menggambarkan keuntungan penggunaan Ultrasonography (USG) pada pemeriksaan hernia buli inguinal. USG merupakan modalitas diagnosis yang non traumatic dan ‘cost-effective’ sehingga menjadi pilihan pertama untuk pemeriksaan radiologi pada kasus scrotal hernia. Pada hernia buli penemuan USG berupa adanya kantung hernia yang berisi cairan yang bersatu dengan dengan buli. (4,9)
Diagnosis preoperative pada sliding hernia buli sangatlah penting untuk mencegah terjadinya iatrogenic bladder injury.

HERNIA REPAIR
Hernia buli jarang ditemukan pre operative, 75% kasus hernia buli ditemukan saat operasi. Sliding hernia buli memerlukan perhatian yang khusus agar tidak terjadi bladder injury dan iatrogenic bladder.
Bendadavid (2002) menggunakan teknik Shouldice pada kasus kasus sliding hernia. Pada kenyataanya teknik Bassini dan tension-free-repair juga dapat digunakan untuk sliding hernia(1). Pre operative planning denga pemeriksaan radiologi seperti CT dan/atau cystography sangatlah penting untuk memberikan gambaran adanya usus yang berhubungan ataupun abnormalitas buli (5).
Wagner et al (2004) menggunakan tension-free- hernia repair dengan mesh pada kasus hernia buli yang besar dan reseksi buli tidak diperlukan kecuali adanya necrosis, tumor ataupun diverticulum (5).

KONKLUSI
Sliding hernia buli sangat jarang ditemukan. Kasusnya berkisar antara 1-4% dari semua hernia inguinalis dan ditemukan pada 10% kasus hernia inguinalis pada laki – laki dewasa berumur diatas 45 tahun.
Hernia buli jarang ditemukan sebelum operasi dikarenakan tidak adanya gejala dan tanda yang khas sebelum herniasinya membesar. Adapun gejala dan tanda yang terlihat adalah miksi dua phase, mengecilnya kantung hernia setelah miksi dan adanya urine yang masih keluar bila kantung hernia ditekan.
Pemeriksaan radiologi yang digunakan pada kasus hernia buli adalah cystographhy sebagai gold standarad. Namun saat ini USG dan CT scan lebih banyak digunakan karena kelibihan teknik masing masing.
Tindakan operasi pada sliding hernia buli harus dilakukan secara hati – hati untuk mencegah terjadinya iatrogenic bladder injury. Teknik Shouldice, Bassini dan tension-free-repair dengan mesh dapat digunakan untuk hernia repair pada kondisi ini.
 
REFERENSI
  1. Bendavid R. Sliding hernias. Hernia : the journal of hernias and abdominal wall surgery. 2002;6(3):137-40. Epub 2002/09/05.
  2. Andac N, Baltacioglu F, Tuney D, Cimsit NC, Ekinci G, Biren T. Inguinoscrotal bladder herniation: is CT a useful tool in diagnosis? Clinical imaging. 2002;26(5):347-8. Epub 2002/09/06.
  3. Noble JG, Christmas TJ, Chapple CR, Rickards D. Inguinal bladder hernia associated with vesico-ureteric reflux. Postgraduate medical journal. 1992;68(798):299-300. Epub 1992/04/01.
  4. Bjurlin MA, Delaurentis DA, Jordan MD, Richter HM, 3rd. Clinical and radiographic findings of a sliding inguinoscrotal hernia containing the urinary bladder. Hernia : the journal of hernias and abdominal wall surgery. 2010;14(6):635-8. Epub 2009/12/03.
  5. Wagner AA, Arcand P, Bamberger MH. Acute renal failure resulting from huge inguinal bladder hernia. Urology. 2004;64(1):156-7. Epub 2004/07/13.
  6. Gurer A, Ozdogan M, Ozlem N, Yildirim A, Kulacoglu H, Aydin R. Uncommon content in groin hernia sac. Hernia : the journal of hernias and abdominal wall surgery. 2006;10(2):152-5. Epub 2005/09/21.
  7. Laniewski PJ, Watters GR, Tomlinson P. Herniation of the bladder trigone into an inguinal hernia causing acute urinary obstruction and acute renal failure. The Journal of urology. 1996;156(4):1438-9. Epub 1996/10/01.
  8. Herrero Riquelme S, Molinero Casares MM, Garcia Serrano J. [Ultrasonographic diagnosis of massive bladder hernia at the inguinoscrotal level: report of a case]. Actas urologicas espanolas. 2000;24(10):825-8. Epub 2001/02/24. Diagnostico ecografico de herniacion masiva de la vejiga a nivel inguinoescrotal: a proposito de un caso.
  9. Verbeeck N, Larrousse C, Lamy S. Diagnosis of inguinal bladder hernias: the current role of sonography. JBR-BTR : organe de la Societe royale belge de radiologie. 2005;88(5):233-6. Epub 2005/11/24.
  10. Verbeeck N, Larrousse C, Lamy S. Diagnosis of inguinal bladder hernias: the current role of sonography. JBR-BTR : organe de la Societe royale belge de radiologie. 2005;88(5):233-6. Epub 2005/11/24.