Selamat Datang!

Blog Bedah Umum FKUI merupakan sarana berbagi informasi mengenai tatalaksana kasus bedah, karya tulis para residen, informasi akademis, wacana dunia bedah hingga kegiatan-kegiatan kami. Blog ini dibuat pada tahun 2009 dan dikelola oleh residen Ilmu Bedah FKUI. Diharapkan blog ini bisa menjadi sarana berbagi kabar, informasi, serta berdiskusi antar konsulen, trainee, dan residen bedah baik dari FKUI maupun fakultas kedokteran lain di Indonesia. Semoga kehadiran blog ini dapat memperkaya wawasan dan keilmuan kita sebagai Dokter Spesialis Bedah maupun calon Dokter Spesialis Bedah masa depan. Semoga bermanfaat!

Minggu, 31 Agustus 2014

Penatalaksanaan Awal pada Kasus Gastroskisis

Penatalaksanaan Awal pada Kasus Gastroskisis

Ridho Ardhi Syaiful, Novi Kurnia, Alldila Hendy PS, Aris Ramdhani, Dennis William Pratama, Bayu Agung Alamsyah
Departemen Ilmu Bedah, FKUI/RSCM, Jakarta, Indonesia, September 2014




ILUSTRASI KASUS
Bayi perempuan dirujuk ke RSCM karena lahir dengan usus terburai di luar rongga perut sejak 3 jam SMRS. Pasien lahir dengan Sectio Caesaria, cukup bulan, BBL 2.900 gram, AS 8/9. Pasien merupakan anak ketiga, tidak ada riwayat kelainan kongenital pada keluarga. Ibu pasien ANC tidak teratur di bidan. Riwayat sakit dan konsumsi rokok selama kehamilan disangkal.


Pasien dibawa dalam kondisi tampak sakit sedang, suhu 36,8oC, pernapasan 48x/menit, nadi 136 x/menit dengan CRT>3”. Terlihat gaster sampai colon transversum terburai tertutup kassa lembab. Pasien dihangatkan, diberi O2 1 L/menit. Defek abdomen ditutup dengan urine bag. Pasien diberikan antibiotik, dipasang OGT. Pada hari ke-2 perawatan dilakukan pemasangan blood bag. Penutupan defek dilakukan pada hari ke-7 perawatan. Pasca tutup defek pasien dirawat di PICU, setelah kondisi stabil, pasien dipindahkan ke ruang rawat bedah anak. Selama perawatan tidak ada instabilitas suhu, tidak sesak, tidak desaturasi, urine output > 1 cc/kg/jam. Pasien sudah minum per oral dengan toleransi minum baik. Pasien sudah rawat jalan.

TINJAUAN PUSTAKA
Defek dinding abdomen kongenital merupakan penyakit dengan spektrum yang luas, termasuk gastroskisis, omfalokel, prune belly syndrome, dan kelainan lainnya. Perbandingan berbagai jenis defek dinding abdomen kongenital dapat dilihat pada tabel 1. 


Gastroskisis dan omfalokel adalah dua jenis defek dinding abdomen kongenital yang paling sering ditemukan.1 Gastroskisis adalah defek paraumbilikal pada dinding abdomen anterior yang menyebabkan herniasi visera abdomen di luar rongga abdomen. Omfalokel adalah defek pada midline dinding abdomen ventral dimana lapisan otot abdominal, fasia, dan kulit tidak terbentuk, sehingga visera hanya ditutupi peritoneum dan membran amnion. 


Kedua kelainan ini memiliki etiologi yang berbeda. Gastroskisis disebabkan oleh insufisiensi vaskular selama pembentukan dinding abdomen anterior. Sesuai teori ini, salah satu faktor risiko gastroskisis adalah paparan terhadap zat-zat yang dapat menyebabkan insufisiensi vaskular selama trimester pertama kehamilan seperti obat-obatan vasoaktif, asap rokok, narkoba, dan toksin lingkungan lainnya. Faktor risiko lainnya termasuk usia ibu muda, status sosioekonomi rendah, ANC yang kurang baik, serta primigravida. Gastroskisis seringkali disertai atresia intestinal, yang juga berhubungan dengan insufisiensi vaskular, ataupun malrotasi. Omfalokel disebabkan oleh gangguan penutupan lipatan pada usia kehamilan 3-4 minggu. Sesuai dengan etiologinya, omfalokel seringkali disertai kelainan kongenital lainnya, terutama pada midline. Sebagian besar mortalitas pada omfakel berhubungan dengan kelainan penyerta pada jantung atau kromosom. 1,2

Diagnosis dapat dilakukan pada masa prenatal. Defek dinding abdomen dapat terdiagnosis selama pemeriksaan ANC melalui USG pada trimester kedua atau ketiga (sensitivitas 60-75%, spesifisitas 95%). Pada minggu ke-6 kehamilan terjadi herniasi fisiologis dari visera. Usus kembali ke dalam rongga abdomen pada minggu ke-10 sampai ke-12 kehamilan seiring dengan penutupan dinding abdomen. Gastroskisis dapat terdiagnosis pada USG mulai minggu ke-12 kehamilan, akan terlihat hernia free-floating tanpa kantong dengan insersi korda umbilikalis yang normal. Visera seringkali edema dan tebal sehingga terlihat gambaran hiperekogenik berbentuk seperti kembang kol atau terdapat tepi yang kasar. Gambaran ini dapat dibedakan dengan omfalokel, dimana terlihat hernia terbungkus kantong dengan korda umbilikalis pada bagian puncak kantong.4,5,6 Diagnosis pascanatal cukup jelas dengan inspeksi defek. 2,7

Manajemen awal dilakukan sesuai prinsip ABC. Dekompresi lambung penting dilakukan untuk mencegah distensi traktus gastrointestinal serta aspirasi. Setelah resusitasi berhasil dan pasien stabil, dilakukan evaluasi defek abdomen. Terdapat perbedaan dalam manajemen antara kasus gastroskisis dengan omfalokel.8

Diperlukan perhatian khusus pada pasien dengan gastroskisis untuk mencegah kehilangan panas dan evaporasi dari visera yang terekspos dengan kontrol suhu lingkungan dan pemasangan bag menutupi defek. Perlu dilakukan penilaian pada dasar pedikel vaskular mesenterik usus yang mengalami herniasi, cegah puntiran dengan mereduksi visera dalam posisi vertikal dan cegah strangulasi akibat ukuran defek yang terlalu kecil.1,2 Oklusi vena mesenterik akan menyebabkan edema usus yang kemudian nyebabkan ileus, menghambat kontraktilitas usus, serta meningkatkan permeabilitas usus sehingga dapat terjadi translokasi bakteri dan sepsis.1,9 Pada omfalokel membran penutup visera perlu dijaga agar tetap intak dan lembab. Stabilisasi kantong untuk mencegah trauma. Bila kantong omfalokel ruptur, visera yang terpapar ditangani seperti gastroskisis. Jika kondisi pasien dengan omfalokel stabil, perlu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan kelainan penyerta.1,2

Pada gastroskisis  dan  omfalokel,  tujuan  utama  adalah  reduksi visera  yang  mengalami  herniasi  masuk  kembali  ke  dalam  abdomen  dan  untuk menutup fasia serta kulit untuk menciptakan dinding abdomen yang solid dengan umbilikus yang relatif normal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi tergantung pada ukuran dan jenis defek, ukuran bayi serta ada tidaknya kelainan lain yang berhubungan.8

Sesegera mungkin setelah resusitasi awal dan stabilisasi, pasien dengan gastroskisis dilakukan operasi untuk penutupan primer atau pemasangan silo dan reduksi bertahap bila penutupan primer tidak memungkinkan. Keputusan apakah pasien dapat mentoleransi reduksi tergantung pada tekanan intraabdomen.1,2,8 Tekanan intra abdomen yang tinggi akan menyebabkan gangguan compliance toraks, menghambat ekspansi paru, mengganggu aliran balik dan sirkulasi sistemik.10 Tekanan intra abdomen < 20 mmHg dan/atau Splanchnic Perfusion Pressure > 43 mmHg intra operatif berkorelasi dengan kesuksesan penutupan defek tanpa komplikasi.1,11 Penutupan defek abdomen dilakukan menurut teknik Robert Gross, dengan pembuatan flap kulit melalui insisi pada bagian lateral abdomen.12

Pada omfalokel yang relatif kecil, penutupan primer dapat dilakukan dengan insisi membran omfalokel, reduksi hernia visera dan penutupan fasia dan kulit. Ketika penutupan primer tidak dapat dilakukan, salah satu cara konservatif yang dapat dilakukan adalah mengoles permukaan kantong omfalokel dengan silver sulfadiazine untuk merangsang epitelisasi. Setelah epitelisasi lengkap, dilakukan kompresi dengan plester elastik untuk mereduksi isi kantong secara gradual, kembali ke rongga abdomen.13 Untuk omfalokel yang besar dapat juga dilakukan reduksi bertahap dengan penggunaan Silo bag.2

Pasca operasi, perlu diperhatikan dukungan respirasi, nutrisi, serta pencegahan infeksi dengan perawatan luka dan penggunaan antibiotik.1,2 Pada anak jenis pernapasan abdominotorakal bersifat dominan, penutupan defek dinding abdomen akan menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang kemudian akan mengganggu pernapasan sehingga ventilator perlu dipasang. Dukungan nutrisi juga berperan penting. Immediate Enteral Nutrition setelah 24 jam pasca operasi dapat memacu motilitas usus yang terganggu akibat edema dan mencegah malnutrisi.9 Pasien boleh makan per oral distensi abdomen dan produksi NGT berkurang, serta mulai ada pasase feses.1

Prognosis pada pasien gastroskisis bergantung pada kondisi visera yang terekspos, penebalan dinding usus > 3mm, dan dilatasi usus > 17mm saat lahir berhubungan dengan prognosis lebih buruk.14 Pada pasien dengan omfalokel, survival rate mencapai 70-95% tergantung pada usia kehamilan, ukuran defek, dan ada tidaknya anomali lain, terutama kelainan jantung atau kromosom.1 Secara umum, pasien dengan gastroskisis memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan omfalokel. Survival rate gastroskisis mencapai 90-95%.2 Pada jangka panjang, pasien yang menjalani repair dengan skin flap berisiko mengalami hernia ventralis.15

PEMBAHASAN
Penanganan pertama dilakukan sesuai prinsip ABC, dengan pemberian oksigen, pemberian cairan intravena dan menghambat kehilangan air melalui penguapan dari defek abdomen. Salah satu tindakan yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama adalah pemasangan urine bag untuk menutup defek abdomen. Bag ini berfungsi untuk mencegah penguapan berlebihan dan dehidrasi, mencegah infeksi, serta edema visera. Bag sebaiknya transparan sehingga kondisi visera dapat dipantau. Pemasangan OGT dilakukan untuk mencegah aspirasi serta untuk dekompresi agar tidak terjadi dilatasi usus yang berlebihan, kemudian dapat dipasang kateter urin untuk menilai urine output sebagai parameter pemantauan status hidrasi pada pasien. Pada pasien ini ditentukan target rehidrasi adalah produksi urin mencapai 1-2 cc/kgBB/jam. Setelah resusitasi berhasil, defek dinding abdomen dapat dievaluasi untuk tindakan selanjutnya.

Setelah pasien stabil, tindakan korektif dapat dilakukan. Pada pasien ini dilakukan pemasangan Blood Bag (sebagai alternatif Silo Bag) dalam posisi vertikal untuk mencegah kinking pada mesenterium serta membantu reduksi visera ke dalam rongga abdomen. Setelah diperkirakan dapat dilakukan reduksi visera dengan tekanan intraabdomen yang tidak terlalu tinggi, dapat dilakukan penutupan defek secara definitif.

Tujuan utama dalam manajemen operatif pada pasien dengan gastrokisis adalah mereduksi visera yang mengalami herniasi agar masuk kembali ke dalam rongga abdomen dan  menutup fasia serta kulit untuk menciptakan dinding abdomen yang solid dengan umbilikus yang relatif normal. Setelah dilakukan operasi, pasien harus dirawat di PICU untuk pemantauan ketat, tanda vital, status hidrasi, nutrisi dan penyembuhan luka pascaoperasi. Pada hari rawat ke-7 pascaoperasi, pasien hemodinamik stabil. Telah dicoba diet enteral dan toleransi minum baik, produksi OGT jernih, dan produksi feses sudah ada sehingga pasien sudah dapat rawat jalan.

DAFTAR PUSTAKA
1.     Klein MD. Congenital defects of the abdominal wall. In: Coran AG, Caldamone A, Adzick NS, Krummel TM, Laberge JM, Shamberger R (eds). Pediatric surgery. 7th ed. Philadelphia: Mosby; 2012.
2.      Wilson RD, Johnson MP. Congenital abdominal wall defects: an update. Fetal Diagn Ther 2014;19:385-98.
3.       Kumar P. Gastrochisis. In: Kumar P, Burton BK (eds). Congenital Malformations. Chicago: McGraw-Hill; 2008.
4.       Ragarwal. 2005. Prenatal diagnosis of anterior abdominal wall defect: Pictorial essay. Ind J Radiol Imag;15:3:361-372
5.       Blazer S, Zimmer EZ, Gover A, Bronshtein M.  Fetal  omphalocele detected early in pregnancy: associated anomalies and outcomes. RSNA. 2004;232:191-5.
6.       Grigore M, Iliev G, Gafiteanu D, Cojocaru C. The fetal abdominal wall defects using 2D and 3D ultrasound: Pictorial essay. Med Ultrason. 2012;14(4):341-7.
7.       Hunter A, Soothill P. Gastroschisis—an overview. Prenat Diagn 2002;22(10):869–73.
8.       Ledbetter DJ. Gastroschisis and omphalocele. Surg Clin N Am 2006;86:249–60.
9.     Moore-Olufemi SD, Padalecki J, Olufemi SE, Xue H, Oliver DH, Radhakrishnan RS, et al. Intestinal edema: effect of enteral feeding on motility and gene expression. J Surg Res. 2009 Aug;155(2):283-92.
10.   Chaplunik S, Suk P, Vlcek P, Korbicka J, Veverkova L, Masek M, et al. Intraabdominal pressure and perfusion of splanchnic organs following major surgeries in the abdominal cavity. Scripta Medica. 2006 June;79(2):85-92.
11. McGuiden RM, Mullenix PS, Vegunta R, Pearl RH, Sawin R, Azarow KS. Splanchnic perfusion pressure: a better predictor of safe primary closure than intraabdominal pressure in neonatal gastroschisis. J Pediatr Surg. 2006 May;41(5):901-4.
12.   Gross RE. A new method for surgical treatment of large omphaloceles. Surgery. 1948;24:277-92.
13.   Blazer S, Zimmer EZ,  Gover  A,  Bronshtein  M.  Fetal omphalocele detected early in pregnancy: Associated anomalies and outcomes. 2004. RSNA;232:191-195.
14.   Baerg J, Kaban G, Tonita J, Pahwa P, Reid D. Gastroschisis: a sixteen-year review. J Pediatr Surg. 2003;38(5):771–4.
15.   Swartz KR, Harrison MW, Campbell JR, Campbell TJ. Ventral hernia in the treatment of omphalocele and gastroschisis. Ann Surg. 1985 Mar;201(3):347-50.

Senin, 14 Juli 2014

Penanganan Bedah pada Pankreatitis Terinfeksi



Penanganan Bedah pada Pankreatitis Terinfeksi
Alldila Hendy PS, Novi Kurnia, Agi Satria Putranto*

*Divisi Bedah Digestif Departemen Ilmu Bedah RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo


Berdasarkan beberapa literatur, 15-30% dari semua pankreatitis dapat berkembang menjadi nekrosis pankreatitis terinfeksi atau Infected Pancreatitis Necrosis (IPN), yang apabila tidak tertangani dengan baik dapat berakibat sepsis. Risiko mortalitas dari 40-70% pankreatitis terinfeksi lebih besar 20% daripada pankreatitis yang steril atau tidak terinfeksi. Patogen yang paling umum ditemukan pada nekrosis pankreatitis terinfeksi adalah bakteri gram negatif, yaitu Escherichia coli, diikuti bakteri gram positif, bakteri anaerob dan terkadang terdapat infeksi jamur terutama pada pasien dengan riwayat penggunaan antibiotik jangka panjang. Diagnosis IPN dapat ditegakkan dengan CT Scan berdasarkan keberadaan gas retroperitoneal atau kultur positif pada necrotic fine needle aspirates (FNA).

Penanganan gold standard pada IPN adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan terbukti menurunkan angka mortalitas hingga 20%. Sedangkan pada nekrosis pankreatitis steril, terapi pilihan yaitu manajemen konservatif kecuali terdapat perburukan klinis meskipun terapi maksimal atau terjadi pankreatitis akut fulminan.

Tabel indikasi dan kontraindikasi open necrosectomy

Timing of Surgery
Tindakan pembedahan harus memperhatikan waktu-waktu tertentu, yaitu tidak direkomendasikan sebelum 14 hari setelah awitan penyakit, kecuali ada indikasi khusus seperti Multi Organ Failure (MOF) yang tidak menunjukkan perbaikan meskipun dengan terapi maksimal dan apabila terdapat sindrom kompartemen abdomen. Waktu pembedahan yang direkomendasikan adalah diatas 2-3 minggu setelah awitan penyakit timbul atau selambat-lambatnya lebih dari 4 minggu, karena diharapkan proses nekrosis sudah tidak meluas dan  tampak jelas batas antara daerah nekrosis dengan yang sehat, sehingga daerah nekrosis dapat ditentukan untuk direseksi dan dapat membantu menurunkan risiko perdarahan.

Tindakan Pembedahan
Terdapat empat prinsip teknik dalam tindakan pembedahan (open necrosectomy) pada pankreatitis terinfeksi, yatiu:
      1.      Nekrosektomi dikombinasikan dengan Open Packing
      2.      Relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang
      3.      Lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac dan retroperitoneum
      4.      Teknik closed packing

Nekrosektomi secara klasik harus dilakukan secara open surgery. Debridemant yang adekuat biasanya akan memberi hasil yang baik, sehingga cukup satu kali operasi saja. Insisi garis tengah longitudinal dapat dilakukan sehingga seluruh ruang abdomen dapat diakses, memungkinkan irigasi seluruh ruang abdomen, dan dapat dilakukan ileostomi diversi jika nekrosis melibatkan area gastrokolika. Setelah memasuki ruang abdomen, ligamen gastrokolika dan duodenokolikan dipisahkan mendekati kurvatura yang paling lebar dari perut sehingga akan tampak pankreas. Ketika sudah dapat memfokuskan bagian yang nekrosis lalu segera dilakukan debridemant. Tindakan nekrosektomi terbuka (open necrosectomy) harus menghindari kesalahan dalam pengangkatan jaringan yang masih vital dan mengurangi komplikasi perdarahan yang berlebih. Setelah semua dilakukan, pastikan debris telah dibersihkan dari ruang retroperitoneal dengan lavage beberapa liter normal salin.

A.      Teknik Nekrosektomi Dikombinasikan dengan Open Packing
Teknik ini dilakukan berdasarkan prinsip reoperasi berkelanjutan, dengan lavage terbuka pada area nekrosis. Eksplorasi manual dan inspeksi visual pada daerah semua ruang peritoneal dilakukan melalui insisi subkostal kiri untuk menentukan luasnya nekrosis. Setelah debridemant, lesser sac dipasang sejenis cincin dengan bahan non-adherent untuk melindungi permukaan intestinal yang berdekatan dan mencegah luka, kemudian dikemas. Kateter jejunostomi dipasang sebagai jalur pemberian nutrisi. Abdomen dibiarkan terbuka bersama dengan drain yang telah terpasang dan pasien kembali lagi ke kamar operasi tiap 24 – 48 jam untuk debridemant disertai pengemasan kembali (repacking) sampai tidak ada lagi nekrosis dan tampak jaringan granulasi sehat. Setelah itu abdomen yang sebelumnya dibiarkan terbuka dapat ditutup, dengan atau tanpa lavage pada rongga peritoneum.

B.       Teknik relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang
Setelah memasuki ruang peritoneal melalui insisi garis tengah secara vertikal lalu telusuri hal-hal berikut: eksplorasi secara sistematik dan inspeksi visual seluruh bagian pankreas serta eksplorasi untuk menentukan seberapa luas nekrosis pada kedua saluran parakolika, bagian akar usus besar mesenterika di bawah mesokolon transversum dan jaringan suprapanreatic retroperitoneum. Memasuki lesser omental sac, dapat dilakukan melalui ligamen gastrokolika ditelusuri secara manual untuk mengidentifikasi kavitas apakah mengandung nekrosis di dalam lesser sac. Setelah ruang nekrosis terpapar, dilakukan nekrosektomi kemudian diikuti dengan irigiasi ekstensif pada daerah yang terdapat debris lalu dinding abdomen ditutup hingga fascia. 48 jam kemudian dilakukan reoperasi dengan teknik yang sama, dan dilakukan lagi dengan interval 48 jam hingga nekrosis tidak ada lagi. Kemudian ditutup secara definitif dengan terpasang drain diatasnya. Drain diletakan sepanjang dibawah hepar dan posterior dari fleksura hepatika di sisi kanan dan posterior dari fleksura inferior splenic hingga sisi kiri limpa.

C.       Teknik Lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac dan retroperitoneum
Setelah memasuki ruang peritoneal melalui insisi garis tengah secara vertikal, lesser sac dibuka dengan memisahkan ligamen duodenokolika dan gastrrokolika mendekati kurvatura terbesar perut dibagian inferior dari pembuluh darah gastroepiploika. Semua cairan yang terkumpul dibuka dan dievakuasi dengan suction. Debridemant pada pankreas nekrosis dilakukan dengan blunt digital dissection. Setelah debridemant pada lesser sac, jaringan nekrosis secara sistematis dilihat pada daerah retroperitoneum dibelakang kolon transversum, ascending dan descending, lalu dibawah menuju Gerota’s fascia dan semua nekrosis dibersihkan dengan blunt dissection. Setelah nekrosektomi, area panrkeas dan ruang retroperitoneal diirigasi dengan normal salin. Setelah irigasi dan hemostasis, empat kateter drainase (dua tipe double-lumen Salem ukuran 20-24 Fr dan dua tipe single-lumen karet silikon ukuran 28-32 Fr) yang akan dipasang masing-masing sisi sejumlah dua kateter, yang langsung berhubungan dengan sisi kontralateral dari ruang peripankreatik dan diletakkan dengan kateter tip pada kepala dan ujung ekor pankreas, dibelakang kolon ascending dan descending. Lumen yang berukuran kecil digunakan untuk aliran kedalam lavage sedangkan ukuran besar untuk aliran keluar. Setelah meletakan drainase, lalu ligamen duodenokolika dan gastrrokolika dijahit bersama untuk menciptakan lavage tertutup. 35 sampai 40 Liter cairan lavage digunakan pada hari pertama, volume dapat dikurangi tergantung pada tampilan keluaran cairan dan klinis. Drainase dapat dilepas dalam 2-3 minggu berikutnya.

D.   Teknik dengan Closed Packing
       Tujuan teknik ini adalah untuk melakukan operasi cukup satu kali saja dengan cara debridemant dan melepaskan jaringan nekrosis yang terinfeksi. Tujuan lainnya adalah meminimalisir kebutuhan operasi berulang dan drainase pankreas yang berlanjut. Biasanya ruang peritoneal dimasuki melalui insisi garis tengah secara vertikal yang dapat memberikan pajanan lebih baik dan penempatan drainase yang optimal. Kolon transversum diangkat kearah depan dan mengakses lesser sac dengan melalui mesokolon sebelah kiri. Saat nekrosis sangat luas, akan terdapat benjolan pada sisi kiri mesokolon akibat proses nekrosis luas tersebut. Setelah menemukan sekumpulan cairan dan jaringan nekrosis maka segera evakuasi dan kirim untuk dilakukan kultur. Apabila nekrosis meluas hingga ke sisi kanan lesser sac, perlu dilakukan insisi pada mesokolon sebelah kanan, pembuluh darah kolika media diklem, dijahit dan dipisahkan. Nekrosektomi dilakukan secara tumpul dengan jari atau dengan spons. Setelah seluruhnya dilakukan nekrosektomi/ debridemant, pankreas diirigasi dengan beberapa liter normal salin. Berikutnya, Penrose drainase digunakan untuk mengemas secara luas. Jumlah drainase ini tergantung ukuran dari ruang kavitas pasca tindakan debrideman, dan akan dilepas 5-7 hari setelah pasca operasi. Bila drainase dipasang dengan jumlah lebih dari satu maka dapat dilepas satu hari satu drain hingga seterusnya. Kemudian insisi di abdomen ditutup.

Gambar open necrosectomy

Keuntungan dan Kekurangan Teknik-Teknik Open Necrosectomy
Teknik operasi “Open Packing” dan “relaparotomi bertahap terencana dengan lavage berulang” dihubungkan dengan penurunan secara signifikan angka rekurensi sepsis abdominal pasca tindakan operasi tersebut dibandingkan dengan single necrosectomy. Namun bagaimanapun juga kedua teknik itu memanipulasi secara berulang sebelum penutupan dinding abdomen sehingga meningkatkan insidensi komplikasi pasca operasi secara signifikan. Terdapat korelasi antara pembedahan intervensi berulang dengan tingginya insidensi fistula usus besar, fistula pankreas, obstruksi gaster, hernia insisional dan perdarahan dari kavitas yang dilakukan debridemant berulang sehingga terjadi komplikasi iatrogenik dibandingkan dengan teknik lavage tertutup berkelanjutan dan teknik “closed packing”
Teknik operasi yang paling sering dilakukan adalah “nekrosektomi dengan lavage tertutup berkelanjutan pada lesser sac”, karena perbedaan utama dari teknik-teknik yang ada bahwa evakuasi debris dan cairan inflamasi secara berulang hingga bersih dapat meningkatkan keberhasilan sehingga reoperasi dapat jarang dilakukan dan menurunkan insidensi fistula.

Tindakan Pembedahan Nekrosektomi Minimal Invasif
Terdapat dua tindakan pembedahan dengan cara minimal invasif, yaitu minimal access retroperitoneal pancreatic necrosectomy (MARPN) dan video-assisted retroperitoneal debrideman (VARD). Kedua prosedur tersebut dilakukan dengan bantuan secara radiologi dalam menggunakan kateter drainase.

Pada MARPN, nephroscope dimasukan menuju sediaan yang terinfeksi setelah dilakukan pelebaran jalur drainase hingga ukuran 30 Fr dengan bantuan flouroskopi. Debrideman dibawa keluar menggunakan irigasi jet dan alat suction. Prosedur ini diulang jika pasien gagal mengalami perbaikan dan dicurigai masih terdapat sisa nekrosis terinfeksi, biasanya tiga sampai lima kali dibutuhkan untuk mencapai nekrosektomi yang adekuat. Beberapa literatur dengan studi kohort, MARPN terbukti lebih baik dalam menurunkan angka mortalitas dan kompliksi dibandingkan dengan nekrosektomi terbuka.

Teknik VARD dilakukan dengan cara membuat insisi 5 cm di subcostal pada bagian tubuh kiri di dekat titik keluar drain perkutaneus. Lalu drain menelusuri hingga mendekati sediaan yang terinfeksi, kemudian dibersihkan dengan suction dan forsep panjang, sebuah kamera laparoskopi digunakan melalui insisi yang telah dibuat sebelumnya. Sistem kamera laparoskopi ini membantu sebagai penunjuk jalan dan memberikan gambaran visual secara jelas pada bagian yang akan dinekrosektomi.


Endoskopi transluminal drainase atau nekrosektomi adalah teknik yang dikembangkan berdasarkan teknik diatas. Dengan bantuan endoskopi, gaster atau dinding duodenum dipungsi atau ditembus untuk mencapai dinding yang nekrotik. Lalu dimasukan kateter nasocystic kedalam ruangan nekrotik tersebut untuk dilakukan irigasi berkala.

Percutaneus catheter drainage (PCD), merupakan langkah pertama pada pendekatan penanganan pankreatitis terinfeksi sebelum melangkah ke langkah selanjutnya, yaitu nekrosektomi minimal invasif. Kateter dimasukan dapat dengan bantuan CT-Scan maupun dengan USG, namun penggunan USG sangat bergantung dengan operator, dan gambar tampak tidak optimal sebagai penanda. Lokasi tempat memasukan kateter PCD melalui rute retroperitoneal sebelah kiri atau kanan tergantung kumpulan nekrosis terinfeksi berada dimana. PCD yang dilakukan secara dini dapat meningkatkan kondisi pasien, dimana 33% pasien hanya membutuhkan tindakan PCD dan hanya 17% berlanjut kepada nekrosektomi minimal invasif. Hasil positif pada FNA selama 2-3 minggu pertama akan menjadi dasar untuk tindakan PCD, walaupun PCD yang dini harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan kondisi steril pankreatitis menjadi terinfeksi.
 
Terapi Antibiotik
Penggunaan antibiotik spektrum luas untuk mengurangi angka infeksi cukup terbukti, namun tidak meningkatkan angka harapan hidup. Bagaimana pun juga, pemberian antibiotik dengan penetrasi yang baik, seperti carbapenem, quinolon dan metronidazole, penting untuk mencegah infeksi pada pankreatitis tidak terinfeksi atau steril. Lamanya pemberian antibiotik masih dalam perdebatan, secara umum antibiotik dapat diberikan selama 2 minggu karena apabila diberikan hingga lebih dari 4 minggu dapat menyebabkan terjadinya infeksi jamur.

Algoritma Penanganan Pankreatitis Terinfeksi


 
 Referensi
1.      Vasiliadis K, dkk. The role of open necrosectomy in the current management of acute necrotizing pancreatitis: a review article. Hindawi Publishing Corporation. 2013; 32(4):1-10.
2.      Da Costa, dkk. Staged multidisciplinary step-up management for necrotizing pancreatitis. BJS. 2014; 101: 65-79.
3.      Nilesh, Agarwal P, Gandhi V. Management of severe acute pancreatitis. Indian J Surg. 2012; 74(1):40-6.
4.      Wronski M, dkk. Ultrasound-guided percutaneous drainage of infected pancreatic necrosis. Surg Endosc. 2013; 27:2841-8.
5.      George HS, dkk. Current trends in the management of infected necrotizing pancreatitis. Bentham Science Publishers. 2010; 10: 9-145