Halaman

Kamis, 14 Juli 2011

Amputasi dan Debridement sebagai Tatalaksana Gangrene Diabetes Melitus Pedis

Dana Satria Kusnadi, Liberty Tua Panahatan, Rian Fabian Sofyan, Rylis Maryana Tamba, Yusak Kristianto, Mursid Fadli

Bedah Umum, Departemen Ilmu Bedah, FKUI/RSCM, Jakarta, Indonesia, Juni 2011

Ilustrasi Kasus

Pasien wanita usia 60 tahun datang dengan keluhan utama luka di tumit kiri yang tidak kunjung sembuh sejak 3 minggu SMRS. Tiga minggu SMRS, pasien tertusuk tulang ayam di tumit kiri hingga berdarah dan nyeri. Luka tidak kunjung sembuh, bertambah bengkak, dan menghitam. Kaki juga kebas dan baal, selain itu pasien juga mengalami demam (suhu > 38oC). Pasien diketahui menderita Diabetes Melitus sejak 15 tahun yang lalu dan tidak teratur berobat. Riwayat stroke pada tahun 2007.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan perabaan arteri popliteal ++/++, arteri dorsalis pedis +/-, arteri tibialis posterior +/-. Ankle Brachial Index (ABI) dextra: 0,8; ABI sinistral tidak dapat dinilai.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemis (Hb 8,8 g/dL); leukositosis (21.270/uL); PT 14,2 (13,1): 1,08x; APTT 32,9 (34,8): 0,94x; GDS 201 mg/dL.
Pada pemeriksaan rontgen pedis sinistra AP dan Oblique: penurunan densitas tulang pedis, osteomyelitis (-). Pada rontgen cruris sinistral AP/Lat: spur formation pada aspek posterior dan aspek plantar os calcaneus sinistral, defek jaringan lunak pada sisi posterior plantar pedis sinistral.
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis kerja ulkus DM pedis sinistra tipe neuroiskemik. Pasien kemudian dilakukan debridement. Pada pemeriksaan USG Doppler didapatkan a. tibialis posterior sinistra: plaque (+), monofasik; a. dorsalis pedis: plaque (+), trifasik (+). Satu minggu pasca debridement, didapatkan rembesan (+) dan pus (+) pada luka, pasien kemudian direncanakan operasi amputasi below knee.


Gambar 1. Foto Klinis PreOp Gangren DM Pedis

Gambar 2. Foto Klinis 1 Minggu Pasca Debridement

Operatif


Pada tanggal 13 April 2011 pada pasien dilakukan tindakan amputasi below knee. Pada awalnya dibuat desain posterior flap ±10 cm di bawah lutut tungkai kiri. Kemudian dilakukan insisi sesuai desain menembus kutis, subkutis, dan fascia otot. Dilakukan identifikasi os tibia, lalu os tibia dipisahkan dari jaringan sekitarnya hingga bersih. Dilakukan amputasi os tibia dengan gigli sesuai desain. Dilakukan identifikasi os fibula, lalu os fibula dipisahkan dari jaringan sekitarnya hingga bersih. Dilakukan amputasi os fibula dengan gigli sesuai desain. Luka operasi dicuci dengan NaCl 0,9% steril, pendarahan dikontrol. Luka operasi ditutup lapis demi lapis, kutis dijahit dengan prolene 3.0 matras horizontal. Tungkai ditutup dengan elastic verband. Operasi selesai.

Gambar 3. Foto Klinis PostOp Amputasi Below Knee
 
 
  Gambar 4. Foto Klinis PostOp Amputasi Below Knee




Tinjauan Pustaka


Peripheral arterial occlusive disease (PAOD) memiliki spectrum yang luas- tanpa gejala, klaudikasio atau critical ischemia. Sebagian besar pasien tanpa gejala atau merasakan klaudikasio ringan. Klaudikasio umumnya berhubungan dengan riwayat penyakit. Menurut guideline yang dikeluarkan ACC/AHA 2005 tentang PAD, distribusi klinis PAD pada pasien >50 tahun adalah sebagai berikut:
1. Asimtomatik- 20-50%
2. Nyeri tungkai atipikal-40-50%
3. Kaludikasio klasik-10-35%
4. Critical limb ischemia-1-2% 4

Secara umum, satu dari empat pasien mengeluh adanya peningkatan gejala seiring dengan waktu, revaskularisasi kurang dari 20% dari pasien selama 10 tahun dan laju amputasi 1-7% dalam 5 sampai 10 tahun. Riwayat penyakit yang buruk adalah ABI yang rendah, pasien merokok atau menderita diabetes (terutama jika gula darah tidak terkontrol).1 Menurut Trans Atlantic Inter-Society (TASC), Critical limb ischemia adalah nyeri iskemia saat istirahat yang terus menerus, hilang timbul dan membutuhkan analgetik opiat selama paling sedikit 2 minggu, terdapat ulserasi atau gangren pada kaki atau jari dan tekanan sistolik ankle kurang dari 50 mmHg atau tekanan sistolik jari kurang dari 30 mmHg (atau hilangnya pulsasi a dorsalis pedis pada pasien DM.

Prevalensi PAD meningkat secara progresif dengan peningkatan usia, dimulai dari usia 40.2,3

Laju mortalitas pada pasien dengan kaludikasio sekitar 50% pada 5 tahun dan pada pasien dengan critical limb ischemia meningkat menjadi 70%. Tingginya mortalitas ini umumnya berhubungan dengan kelainan jantung dan umumnya tidak dikenali oleh klinisi. Manajemen faktor resiko aterosklerosis adalah strategi penting dalam menurunkan angka mortalitas yang tinggi pada PAOD.1

Klasifikasi PAD yang digunakan adalah klasifikasi sistem Fontaine dan Rutherford5











Karena tekanan darah sistolik ankle bervariasi terhadap tekanan sentral aorta, maka untuk mendapatkan nilai normal tekanan ankle dibagi dengan tekanan darah brakial. Rasio yang umumnya dikenal sebagai ankle preasure index atau ankle-brachial index (ABI), rata-rata normalnya sekitar 1,1 pada pasien yang istirahat tirah baring. Walaupun pada beberapa pasien dengan stenosis arteri dengan fungsi yang signifikan memiliki indeks diatas 1,0, namun pada sebagian besar pasien dengan kelainan arteri memiliki indeks yang jauh lebih rendah. Pada table di bawah, ABI memiliki variasi berdasarkan lokasi obstruksi arteri. Nilainya cenderung tinggi saat lesi berada di popliteal atau arteri dibawah lutut dan rendah pada banyak lokasi lainnya.6

Angka ABI orang sehat sekitar 1,0-1,2, sedangkan ABI pada oklusi arteri utama kaki <0,9. Ada korelasi di antara angka ABI (0,4-0,7) dengan jarak tempuh maksimal (100-500 m). Pasien klaudikasio intermiten dengan ABI 0,6 tetapi jarak berjalan kurang dari 100 m, harus dipikirkan bahwa pasien tersebut mengalami penyempitan kanalis vertebralis daripada kelainan arteri lainnya.6

Pasien DM dan hemodialysis yang mempunyai lesi pada arteri kaki bagian bawah (karena kalsifikasi pembuluh darah, maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2, sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang dari 0,5 dianjurkan operasi, karena prognosis buruk. Jika ABI>0,6 dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan berjalan.6

Terapi nonoperatif adalah menghentikan rokok7, kontrol gula darah pada DM8, control hipertensi9 dan penggunaan antikoagulan dan antiagregasi trombosit.

Walaupun 5-10% saja yang memiliki kelainan lokal pada aortoiliaka, tetapi sebagian besar pasien dengan kaludikasio berat dan critical ischemia melibatkan lokasi yang difus dan biasanya kombinasi kelainan aortoiliaka dan infrainguinal. Pasien PAOD yang terlokalisir pada segmen aortoiliaka umumnya bisa ditangani dengan pengobatan konservatif karena adanya kolateral yang baik. Pada pasien kaludikasio berat dan critical ischemia, intervensi berbasis kateterisasi perkutaneus memberi hasil yang cukup baik dan memiliki hasil jangka panjang yang baik pada kasus yang terlokalisir.1

Extra-anatomic bypass graft memberikan alternatif rekonstruksi arteri pada pasien dengan gejala iskemik yang signifikan dan memiliki kondisi komorbid mayor. Graft ini dipikirkan jika penggantian aorta secara teknik sulit atau merupakan kontraindikasi. Jenis bypass ini adalah femorofemoral graft, axilofemoral graft, obturator bypass, thoracofemoral bypass.1

Infrainguinal bypass dilakukan untuk kelainan infrainguinal dan menggunakan vena safena magna. Jika vena safena magna ipsilateral tidak ada, tidak cocok atau panjangnya tidak cukup untuk bypass, vena safena magna kontralateral dan vena pada ekstremitas atas bisa dievaluasi untuk digunakan.1


Pembahasan

Ulkus di kaki yang mengarah ke amputasi kaki merupakan komplikasi PAOD pasien DM. angka amputasi sekitar 1% dari penderita DM diatas usia 65 tahun. Untuk memakasimalkan keselamatan tungkai, ada beberapa peraturan yang kita perhatikan, yaitu debridement dan melakukan drainase yang adekuat dan sedini mungkin jika ada infeksi, kontrol infeksi sistemik dan gula darah, nilai penyakit oklusif akibat aterosklerotik jika terdapat neruropati, infeksi atau keduanya hadir, tentukan status arteri kaki bahkan jika arteri tibialis oklusi, kembalikan perfusi maksimal ke distal kaki dengan rekonstruksi, cari, drainase dan debridement infeksi residual dan nekrosis dan lakukan tatalaksana awal pada luka terbuka dengan kasa basah dan hindari beban pada tungkai tersebut.1

Indikasi amputasi tungkai bawah pada PAOD, masih belum ada persetujuan diantara para ahli, namun sebagian besar dokter bedah sepakat bahwa nekrosis yang luas pada tumit dan punggung kaki adalah prediktor yang buruk untuk melakukan penyelamatan tungkai. Tujuan amputasi ekstremitas bawah adalah membuang semua jaringan mati dan jaringan yang sakit, mengoptimalkan fungsi residual ekstremitas bawah dan meminimalisir morbiditas operasi.9

DAFTAR PUSTAKA


1. Johnston KW. Management of chronic ischemia of the lower extremities in Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed. Editor: Rutherford RB. Elsevier, New York 2005, p: 1077-81

2. McDaniel MD, Cronenwett JL. Basic data related to the natural history of intermittent claudication. Ann Vasc Surg 1989; 3:273.

3. Murabito JM, Evans JC, Nieto K, et al. Prevalence and clinical correlates of peripheral arterial disease in the Framingham Offspring Study. Am Heart J 2002; 143:961.

4. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the management of patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal, mesenteric, and abdominal aortic): a collaborative report from the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery, Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology, Society of Interventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): endorsed by the American Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation 2006; 113:e463.

5. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, et al. Inter-Society Consensus for the Management of Peripheral Arterial Disease (TASC II). J Vasc Surg 2007; 45 Suppl S:S5.

6. Jusi D. Sumbatan Arteri Perifer Menahun. Dalam: Jusi D. Dasar-dasar Ilmu Bedah Vaskuler. Edisi ke-4. Balai Penerbit FKUI 2008. Hal 115-61

7. Quick CR, Cotton LT. The measured effect of stopping smoking on intermittent claudication. Br J Surg 1982; 69 Suppl:S24.

8. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, et al. Inter-Society Consensus for the Management of Peripheral Arterial Disease (TASC II). J Vasc Surg 2007; 45 Suppl S:S5.

9. Nehler MR. Extremity amputation for vascular disease in Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed. Editor: Rutherford RB. Elsevier, New York 2005, p: 2447-8

Jumat, 08 Juli 2011

Tim Sepak Bola IKABI Jaya Juara..!

Meski pada setiap pertandingan selalu ada yang menang dan ada yang kalah, tampak jelas sportivitas kedua tim yang menikmati suasana gembira saat pembagian piala dan medali. Begitulah esensi dari pertandingan olah raga pada setiap PIT IKABI, meningkatkan sportivitas dan mempererat kekeluargaan! Selamat untuk kedua tim!





Menuju Juara Lapangan Hijau PIT IKABI XVIII

Setelah melalui babak demi babak pertandingan akhirnya muncul dua tim terbaik yang berlaga di final, yaitu tim IKABI Jaya dan IKABI Makassar. Pertandingan final diselenggarakan di Gelora Bung Karno pada hari Jumat tanggal 1 Juli 2011. Dua babak dilalui tanpa membuahkan satu gol pun. Lalu dilakukan perpanjangan waktu yang juga dilalui tanpa tercetak gol. Akhirnya dilakukan tendangan penalti yang dimenangkan oleh tim IKABI Jaya dengan skor 3-1. Selamat kepada tim IKABI Jaya! Semoga prestasi ini dapat dipertahankan di masa yang akan datang..!

Kamis, 07 Juli 2011

Sosok: Prof. DR. Dr. Aryono D. Pusponegoro Sp.B(K)-BD


Guru besar FKUI yang biasa disapa Prof. Aryo adalah orang yang sangat memperhatikan pendidikan ilmu bedah dan kegawatdaruratan di Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikan dokter umum dari Universitas Carolina Pragnesis, Praha, Cekoslovakia, beliau melanjutkan pendidikan spesialis bedah umum dan bedah digestif di FKUI. Prof Aryo mengakui sangat menyukai bidang kegawatdaruratan sejak Kongres di Bandung tahun 1969. Pada kongres tersebut guru-guru beliau, di antaranya Prof. Djamaloedin pertama kali mencetuskan pentingnya perawatan pra- Rumah Sakit. Sejak saat itu beliau selalu berusaha memperbaiki dan memajukan pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia. Bahkan Ketua AGD 118 Jakarta ini, membawa pidato mengenai sumbangan ilmu bedah digestif pada penanggulangan trauma berat abdomen pada pengukuhan dirinya menjadi guru besar FKUI.

Prof. Aryo dikenal sebagai guru yang sangat terbuka. Ini dapat dilihat dari pendapat beliau tentang pendidikan ilmu bedah saat ini. Beliau sangat menghargai dokter-dokter dari luar negeri yang masih muda tetapi sudah menjadi ahli pada suatu bidang. Beliau melihat bahwa ini disebabkan karena pendidikan kedokteran di luar negeri berorientasi organ. Sedangkan di Indonesia, pendidikan kedokteran terutama spesialis masih terlalu luas sehingga tidak ada penguasaan organ yang mendalam. Prof. Aryo berpendapat pendidikan kedokteran di Indonesia harus mulai “re-organize” mengikuti luar negeri. Prof. Aryo memakai contoh negara tetangga Malaysia dan Singapura yang mau mengikuti pelatihan ke luar dari negara mereka. Prof. Aryo ingin Indonesia juga mengejar kedua negara tersebut karena seperti kita ketahui pada tingkat ASEAN sudah disetujui kesamaan kurikulum pendidikan. Beliau juga mengajak semua peserta didik baik kedokteran umum maupun spesialis untuk mau terbuka dan berusaha mencari peluang beasiswa dari luar negeri. Lebih lanjut mengenai hal ini, Prof. Aryo menambahkan pendapat mengenai dokter asing yang akan bekerja di Indonesia, beliau sangat menerima dokter-dokter tersebut karena akan meningkatkan pelayanan terhadap seluruh masyarakat. Tetapi Prof. Aryo menambahkan bahwa untuk mencapai pemerataan pelayanan pada seluruh masyarakat harus diimbangi dengan usaha pemerintah dalam hal pemerataan ekonomi.

Prof. Aryo memandang bahwa kasus trauma adalah “silent disaster” sesuai dengan judul buku yang akan diluncurkan hari ini. Prof. Aryo berpandangan seperti ini karena di Jakarta polisi melaporkan jumlah korban tewas karena kecelakaan sekitar 500-600 orang/ tahun, sedangkan di kamar jenazah data jumlah korban kecelakaan sekitar 1000-1500 orang/tahun. Ini disebabkan masyarakat yang kurang memperhatikan keselamatan, buruknya pelayanan pra-Rumah Sakit dan pelayanan kegawatdaruratan. Beliau selalu membandingkan kecepatan ambulans dengan pesan antar restoran cepat saji, betapa lebih murahnya nyawa kita dibandingkan harga makanan. Prof. Aryo sudah banyak berusaha memperbaiki sistem ini melalui pendidikan ATLS, AGD 118, dan pelatihan lainnya. Banyak tantangan dan hambatan yang beliau hadapi dalam memajukan pelayanan kegawatdaruratan di Indonesia, tetapi beliau masih terus gigih berusaha hingga sekarang. Jika tertarik dengan perkembangan kegawatdaruratan di Indonesia, tidak salah jika mencoba menjadikan buku “The Silent Disaster, Korban Massal, dan Bencana” sebagai salah satu sumber referensi.

Kesan dan Pesan Panitia PIT IKABI XVIII


Dr. Dedy Pratama, Sp. B(K)V
“Saya menyambut positif acara PIT IKABI yang ke-XVIII ini. Dengan diadakannya pertemuan ilmiah tahunan ini, diharapkan seluruh dokter bedah dengan sub-sub spesialisnya Indonesia dapat menambah pengetahuan dan keahliannya di bidang ilmu bedah, terutama bagi para sejawat ahli bedah yang tersebar di daerah terpencil. Acara ini juga sebagai ajang reuni serta silahturahmi para sejawat ahli bedah yang tersebar di seluruh Indonesia. Saya berharap agar para peserta PIT turut menyukseskan acara ini dengan mengikuti seluruh acara ilmiah dari hari pertama hingga terakhir.”

Dr. S.H. Manulang, Sp.B(K)
“Saya harap PIT IKABI ini dapat dimanfaatkan sejawat-sejawat ahli bedah mengikuti transformasi yang berjalan pesat terutama di bidang teknologi bedah. Dan jangan lupa menikmati hiburan saat Gala Dinner bersama Flashback Band (Johan Untung dkk) dan dipandu oleh artis lucu yang dikenal dengan nama Miss Jengkelin, dokter muda.”

Tantangan Globalisasi: Siapkah Dokter Bedah Indonesia Bersaing Dengan Dokter Bedah Asing?

Saat ini kita sedang menghadapi jaman globalisasi dengan dampak positif dan negatifnya. Dampak positif dari globalisasi yang kita rasakan antara lain semakin cepatnya penyampaian informasi sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan cepat dan batas-batas antar negara sudah semakin tipis. Namun di sisi lain muncul dampak negatif bagi kita sebagai penyedia layanan kesehatan yaitu akan semakin ketatnya persaingan dengan dokter asing yang mulai berdatangan ke Indonesia. Tim Warta PIT IKABI beruntung dapat berincang dengan Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB(K)BD dan Prof. dr. Paul Tahalele, SpBTKV(K), PhD, FCTS, dua guru besar ilmu bedah Indonesia yang terlibat aktif dalam kesepakatan bersama para praktisi medis di negara-negara ASEAN.

Berdasarkan penuturan Profesor Sjamsuhidajat, pada bulan Februari tahun 2009, para Menteri Perdagangan sepuluh negara di ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam) menandatangani ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Profession (MRA MP), suatu konsep yang digunakan ASEAN untuk mendukung rejim perdagangan bebas ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Di antara sepuluh negara tersebut, hanya lima negara yang telah memiliki kurikulum baku dan terstandar dengan baik sehingga langkah-langkah MRA akan dilakukan dengan lima negara tersebut saja (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand). Kesepakatan ini seharusnya sudah mulai dilaksanakan pada bulan Agustus 2009, namun pelaksanaannya masih boleh ditunda hingga Januari 2010.

Profesor Paul menjabarkan langkah-langkah pelaksanaan MRA MP yaitu:
1. Menyepakati sekretariat bersama ASEAN yang berkedudukan di Filipina dan diketuai oleh Prof. Jose Pina. Pertemuan itu disepakati pada tanggal 12 Mei di Sebu City, Filipina Selatan. Sebulan berikutnya pertemuan diadakan di Kuching, Malaysia. Disepakati bahwa masing-masing negara menyiapkan kurikulum dan katalog ilmu bedah dalam bahasa Inggris dan akan dibicarakan di dalam pertemuan di Pataya tanggal 12-16 Juli 2011. Pada pertemuan tersebut akan dicari kesamaan dari kurikulum masing-masing negara ASEAN ini. Kemungkinan besar akan terbentuk kurikulum ilmu bedah ASEAN sehingga lulusan yang dihasilkan masing-masing negara dapat disetarakan.
2. Saling kunjung staf pengajar dan pendidik untuk melihat kegiatan pembelajaran dan training residen ilmu bedah.
3. Tahap tukar-menukar trainee/residen dengan waktu yang lebih panjang.

Kolegium Ilmu Bedah Indonesia sudah mengikuti pertemuan-pertemuan MRA MP sebanyak enam kali namun belum banyak yang dihasilkan pada tiga pertemuan pertama di tahun 2010. Pada bulan Desember 2010 dilakukan pertemuan bilateral di Singapura dan didapatkan kesepakatan tertulis antara Kolegium Ilmu Bedah Indonesia (diwakili oleh Prof. Sjamsuhidajat dan Prof. Aryono D Pusponegoro) dengan Ketua Kolegium Ilmu Bedah di Singapura. Diharapkan pertemuan ini dapat dilanjutkan hingga tahap berikutnya dan juga dilakukan dengan tiga negara lainnya. Lebih lanjut, Profesor Sjamsuhidajat berpendapat bahwa apabila diadakan ujian bersama maka akan dapat diketahui mutu dari masing-masing lulusan.

Masuknya dokter asing ke Indonesia dan sebaliknya baru dapat dilakukan setelah melalui proses tersebut. Apabila kemampuan dokter yang akan masuk ke suatu negara telah dinyatakan setara dengan dokter-dokter di negara tersebut, maka dokter yang akan masuk boleh melamar kerja dengan mengikuti prosedur yang berlaku di negara tersebut. Misalnya, dokter asing yang akan bekerja di Indonesia kemampuannya harus diakui oleh kolegium dulu sebelum meminta Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia. Setelah didapatkan STR, maka dokter tersebut juga tetap harus mengurus SIP ke Dinas Kesehatan setempat. Intinya adalah, dokter asing yang ingin bekerja di Indonesia dipersilakan melamar dengan mengikuti prosedur standar, namun tidak ada jaminan pasti akan mendapatkan pekerjaan. Hal ini juga tergantung dari proses seleksi pihak RS yang akan mempekerjakan. Dengan proses yang cukup ketat dan adil tersebut, diharapkan kehadiran dokter asing tidak menjadi ancaman bagi dokter Indonesia, namun justru menjadi pemicu yang dapat meningkatkan daya saing.

Menurut Profesor Paul, ada beberapa keuntungan masuknya dokter asing di Indonesia yaitu kita dapat bersaing secara sehat, dapat mengukur kemampuan, dan pasien yang dilayani pun akan merasa diuntungkan. Guru Besar FK Unair yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman ini juga mengungkapkan bahwa negara kita memang masih kekurangan dokter spesialis bedah. Di Indonesia, sekitar 2200 dokter spesialis bedah melayani sebanyak 240 juta penduduk sedangkan di Filipina, 3000 orang dokter spesialis bedahnya hanya melayani sekitar 30 juta penduduk. Tidak hanya kekurangan, namun juga terdapat masalah pendistribusian dokter yang kurang baik. Mantan ketua PABI yang saat ini menjadi Presiden Terpilih IKABI ini juga berharap bahwa pemerintah dapat mengusahakan hal-hal yang dapat menarik para dokter spesialis bedah untuk bekerja di daerah, yaitu:
1. Gaji/insentif perlu lebih diperhatikan. Selain itu juga hendaknya diberikan fasilitas yang memadai seperti rumah dinas dan kendaraan.
2. Buat rotasi penempatan dengan baik dan Kemenkes RI hendaknya bekerjasama dengan organisasi profesi dan kolegium.

Dengan semakin berkembangnya komunikasi, globalisasi adalah suatu keniscayaan. Arus globalisasi yang semakin deras akan berimbas pada bidang kedokteran. Pada akhirnya, agar kita siap menghadapi tantangan globalisasi dibutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak seperti pemerintah, Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, organisasi-organisasi profesi ilmu bedah, dan juga para dokter spesialis bedah secara individu. Mari kita sambut tantangan ini dengan bersemangat!

Perkembangan Ilmu Bedah Saat Ini dan Masa Depan

Seiring dengan perkembangan teknologi kedokteran, ilmu bedah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ilmu bedah di Indonesia dapat dilihat dari kemampuan ahli-ahli bedahnya yang merupakan produk dari program pendidikan dokter spesialis bedah. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan dokter spesialis ilmu bedah berperan penting dalam berkembangnya ilmu bedah di Indonesia. Saat ini, ilmu bedah di Indonesia sedang mengalami berbagai tuntutan. Tim Warta PIT IKABI XVIII berkesempatan untuk berbincang dengan Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB(K)BD, guru besar Ilmu Bedah dari FKUI/RSCM.

Menurut Prof. Sjamsuhidajat, kolegium Ilmu Bedah sebagai penyusun kurikulum pendidikan dokter spesialis bedah harus memiliki pandangan dan wawasan yang jauh ke depan. Di satu sisi, perkembangan ilmu bedah di Indonesia saat ini masih kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Apabila kita mengejar perkembangan ilmu untuk dapat bersaing dengan luar negeri, mungkin tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk rakyat Indonesia yang memiliki kebutuhan berbeda. Namun di sisi lain apabila kita bertahan dengan kurikulum konvensional, sebagian masyarakat yang cerdas dan kaya tentunya akan mencari pengobatan ke luar negeri karena menganggap kompetensi dokter bedah Indonesia tertinggal dari negara-negara lain. Hal ini menjadi beban ganda yang harus dipikirkan oleh Kolegium Ilmu Bedah.

Pria yang lahir di Kepulauan Riau 80 tahun yang lalu ini berpendapat bahwa Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) memiliki peran dalam menentukan akan mendidik spesialis bedah yang seperti apa. Idealnya, kita dapat menyejajarkan ilmu kita dengan negara-negara lain, karena dengan begitu uang rakyat Indonesia tidak lari ke luar negeri dan dengan semakin banyaknya kasus ilmu kita akan lebih cepat berkembang. Namun hal ini tidak berarti mengabaikan kebutuhan rakyat Indonesia pada umumnya. Untuk dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut dapat dibuat suatu kurikulum baru, meskipun mungkin masa pendidikan akan menjadi lebih lama.

Kemudian, menurut pria yang memperoleh gelar Guru Besar Emeritus FKUI pada tahun 2001 ini, apabila kita ingin pendidikan ilmu bedah kita lebih maju, kurikulum kita seharusnya bercermin pada kurikulum yang ada di luar. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kurikulum di negara-negara tersebut bisa kita pelajari dan bisa diterapkan di Indonesia. Ini merupakan suatu hal yang sangat sulit. Salah satu potensi hambatan di Indonesia yaitu sistem pembiayaan kesehatan kita yang masih menggunakan fee for service. Dengan sistem ini, dokter yang lebih banyak melakukan tindakan akan mendapatkan bayaran yang lebih banyak juga sehingga terdapat perebutan lahan antara subspesialis dengan bedah umum. Spesialis bedah umum di luar negeri memiliki kewenangan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih subspesialistik, namun di Indonesia masih terdapat kesan bahwa subdivisi masih belum rela memberikan kemampuan yang lebih tinggi pada spesialis bedah umumnya. IKABI dapat memberikan masukan pada pemerintah untuk memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan agar menjadi lebih baik. Apabila dokter diberikan gaji yang memadai setiap bulannya tanpa melihat banyaknya jumlah operasi yang dilakukan, maka diharapkan para subspesialis merelakan dokter bedah umum melakukan tindakan-tindakan yang lebih tinggi, dan dengan demikian ilmu bedah di Indonesia akan semakin berkembang.

Kompetisi Olah Raga pada PIT IKABI XVIII

Sepak Bola
Sepak bola sebagai olahraga paling terkenal sejagat raya, tidak hanya popular di kalangan rakyat biasa tapi telah pula menjadi olahraga nomor satu di kalangan ahli bedah se-Indonesia. Bukti kuatnya tradisi sepak bola di bedah tampak pada selalu hadirnya sepak bola dalam setiap kompetisi olahraga di PIT IKABI tiap tahunnya. Tujuannya guna menjalin silaturahmi diantara ahli bedah se-Indonesia dengan semangat penuh sportivitas.

Perhelatan Kompetisi Olahraga PIT IKABI XVIII siap digelar di Jakarta terhitung 30 Juni 2011. Sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga yang dikompetisikan pun akan memulai pertandingan pada tanggal yang sama. Sebanyak 9 kontingen akan berpartisipasi di ajang kompetisi sepak bola PIT IKABI tahun 2011. Mereka diantaranya FK Universitas Indonesia (Jakarta), FK Universitas Padjajaran (Bandung), FK Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), FK Universitas Diponegoro (Semarang), FK Universitas Sumatera Utara (Medan), FK Universitas Sriwijaya (Palembang), FK Universitas Andalas (Padang), dan FK Universitas Negeri Solo (Solo). FK UI sebagai tuan rumah akan menurunkan 2 tim, sedangkan kontingen yang lain masing-masing akan menurunkan 1 tim.

Kompetisi akan menggunakan sistem semi-kompetisi. Seluruh tim akan dibagi dalam dua grup dimana juara dari tiap grup akan bertemu di babak final. Tim A dihuni oleh tuan rumah UI A bersama UNS, UNDIP, UNAND, dan UNSRI. Sedangkan tim B dihuni oleh juara bertahan UNPAD bersama UNHAS, UI B, UGM, dan USU. Beberapa stadion berstandar nasional maupun internasional akan digunakan untuk menggelar babak penyisihan hingga final. Stadion Sumantri Bojonegoro dan PTIK bakal dipercaya untuk menggelar babak penyisihan. Sedangkan partai puncak akan dihelat di stadion utama Gelora Bung Karno.

Persaingan menuju puncak juara diyakini bakal berlangsung sengit mengingat tahun ini kompetisi masih tetap diikuti oleh tim unggulan seperti UNPAD sebagai juara bertahan dan tentu saja tuan rumah UI Jakarta. Jadi, siapakah yang akan berjaya? Kita tunggu saja bersama. (IRS)


Tenis
Perhelatan kejuaraan tenis di dalam kegiatan PIT IKABI XVIII di Jakarta tidak dapat dipandang sebelah mata. Kejuaraan ini diikuti oleh 8 tim yang terdiri dari 2 tim IKABI JAYA, 2 tim Universitas Udayana Bali, 1 tim Universitas Mulawarman Kalimantan Timur, 1 tim Universitas Diponegoro Semarang, 1 tim Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dan 1 tim dari Riau.

Setiap tim terdiri dari satu pemain tunggal putra dan dua pasang pemain ganda putra. Pemain yang turut serta adalah residen bedah dan konsulen bedah di universitas terkait. Kejuaraan tenis akan dilakukan dengan sistem gugur, menggunakan format 9 set tanpa deuce dalam satu pertandingan selama babak penyisihan dan best of three ketika final dalam satu pertandingan.

Semua pertandingan akan berlangsung di Lapangan Tenis Epicentrum Klub Kuningan dari tanggal 30 Juni sampai 1 Juli 2011, mulai pukul enam hingga pukul sepuluh WIB. Kejuaraan tenis ini diharapkan dapat mempererat tali silaturahmi di antara teman sejawat bedah dari berbagai daerah. Ayo dukung almamater anda dalam pertandingan tenis dan junjung selalu sportivitas dalam bertanding!


Bulutangkis
Seakan tidak mau kalah dengan perhelatan akbar turnamen bulutangkis dunia Indonesia Open Super Series, pada PIT IKABI XVIII yang tahun ini dilangsungkan di ibukota negara ini turut diselenggarakan pertandingan bulutangkis. Mengapa bulutangkis? Bulutangkis sebagai olahraga yang sangat merakyat di negeri Indonesia ini merupakan salah satu cabang olahraga yang disukai oleh banyak orang, tak terkecuali di kalangan dokter bedah.

Pertandingan ini diikuti oleh 13 tim dari berbagai universitas dan diselenggarakan di GOR Soemantri Brojonegoro Hall B pada tanggal 30 Juni 2011 pukul 06.00-10.00 WIB dan 16.00-22.00 WIB. Setiap tim terdiri dari 2 pasang pemain ganda putra, 1 orang pemain tunggal putra dan 2 orang pemain cadangan yang dapat diisi oleh residen ilmu bedah atau staff bedah dari universitas terkait. Pertandingan diselenggarakan dalam format kompetisi gugur dengan system rally point hingga poin 21. Jalannya pertandingan ini pasti seru dan menegangkan karena saling mempertahankan gengsi dari masing-masing universitas. Aksi–aksi mengagumkan dipastikan akan terjadi di lapangan bulutangkis. Kalah dan menang merupakan hal yang lumrah terjadi dalam sebuah perlombaan. Tujuan yang ingin dicapai adalah terjalinnya kerjasama dan silahturahmi antar sejawat dari berbagai pusat pendidikan ilmu bedah. Ayo datang dan dukung almamater anda di PIT IKABI XVIII ini!

Ladies Programme PIT IKABI XVIII

Pertemuan Ilmiah Nasional (PIT) Ikatan Bedah Indonesia (IKABI) merupakan acara tahunan yang melibatkan acara ilmiah dan olahraga. Namun, ada satu lagi acara yang melengkapi rangkaian acara PIT IKABI ini dan terutama dinantikan oleh kaum ibu atau istri-istri dan anak-anak dari dokter bedah sendiri, yaitu Ladies Programme. Seperti setiap tahunnya, Ladies Programme memiliki rangkaian acara yang menarik, atraktif dan bermanfaat untuk ibu-ibu atau istri-istri dan anak-anak dari dokter bedah ini. Jadi tidak hanya sang suami yang mendapatkan manfaat dari PIT ini, namun juga para istri.

Pada PIT IKABI ke XVIII tahun ini, sebagaimana yang kita ketahui Jakarta menjadi tuan rumah, merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh istri-istri dokter bedah di Jakarta, terutama oleh dr. Anita Sapardjiman, MARS yang mendapatkan kehormatan sebagai ketua panitia acara Ladies Programme. Istri dari dr. Taslim Poniman, SpB-KBD ini mempunyai obsesi membuat istri-istri dokter bedah beserta anak-anaknya bisa sekompak dan seakrab bapak-bapaknya para dokter. Dengan dukungan ide-ide dan saran-saran yang sangat kreatif dari ibu-ibu panitia yang sudah berpengalaman, baik sebagai panitia maupun peserta di beberapa acara Ladies Programme PIT IKABI sebelum-sebelumnya, maka panitia merancang acara yang sedikit berbeda yang dapat membuat seluruh ibu-ibu dan anak-anaknya bisa terlibat langsung dalam acara-acara yang dirangkum secara lengkap mencakup sisi spotivitas, edukatif, kompetitif, juga menyenangkan seperti talk show, kompetisi fashion show yang paralel dengan kompetisi fotografi lengkap dengan kursus fotografi bersama Darwis Triadi line dance, outbond sambil acara demo masak bersama Farah Quinn yang akan diliput oleh Trans TV dan yang paling ditunggu-tunggu yaitu shopping tour serta masih banyak kegiatan yang disediakan panitia untuk mengisi kegiatan selama peserta di Jakarta.

Dr. Anita juga berharap semoga kegiatan ini dapat menjadi pilot project untuk Ladies Programme PIT IKABI selanjutnya untuk tercapainya kekompakan serta keakraban keluarga besar IKABI yang terdiri dari dokter, istri dan anak-anaknya di masing-masing provinsi maupun IKABI secara nasional. So ladies, mari kita semarakkan Ladies Programme tahun ini di ibukota tercinta.

Liputan Kegiatan Workshop pada PIT IKABI XVIII

Salah satu kegiatan dari PIT IKABI XVIII adalah acara workshop.Terdapat empat acara workshop yang diadakan pada hari Rabu, 29 Juni 2011, yaitu dari Divisi Bedah Vaskular, Divisi Bedah Onkologi, Wound Care Management dan Clinical Use of Blood yang diadakan oleh ICTEC (Indonesian Clinical Training and Education Centre).

Workshop yang diadakan oleh divisi Bedah Vaskular bertemakan “Vascular Access for Endovascular, Hemodialysis, Chemotherapy and Nutrition”. Workshop tersebut terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama merupakan sesi pendahuluan, yang mengundang beberapa pakar dari bidang ilu masing-masing. Selanjutnya diikuti dengan sesi tanya jawab bagi peserta. Di akhir kuliah terdapat penanyangan video Port ACath (Celsite) Care and Management dan Port A Cath (Celsite) and AV Shunt Video. Sesi kedua merupakan sesi skill lab di mana para peserta mempraktekkan hands on langsung menggunakan animal tissue yaitu aorta babi. Kegiatan skill lab ini didampingi oleh para pakarnya. Sesi terakhir, Finish Live Demonstration In Operating Theatre Vascular Team, di mana sudah terdapat dua orang pasien yang akan dilakukan operasi secara langsung di OK IBP dan peserta menonton operasi tersebut.

Di lantai 8 gedung A RSCM juga berlangsung workshop Core Biopsy. Acara ini dibuka oleh Dr. Ahmad Kurnia, Sp.B(K)Onk, dan dilanjutkan dengan kuliah singkat dan tanya jawab mengenai topik ini. Setelah menonton video tentang teknik core biopsy, para peserta langsung dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan hands on pada model ayam, dengan bimbingan seorang fasilitator di setiap kelompoknya.

Workshop Wound Care Management mengambil tempat di lantai 6 gedung A RSCM. Beberapa topik kuliah pendahuluan diberikan oleh pembicara ahli di bidangnya masing-masing, sebelum para peserta melakakukan praktek hands-on. Di ICTEC RSCM pada juga berlangsung workshop tentang Clinical Use of Blood.

Meet The Expert and Live Surgery

Seiring dengan tema yang diambil tahun ini “Transformation of Surgical Technology”, Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Bedah Indonesia (PIT IKABI) XVIII menampilkan salah satu bentuk penerapan teknologi dalam bidang ilmu bedah, yaitu Live Surgery. Dua operasi yang rencananya dilakukan di Rumah Sakit Gading Pluit, Kepala Gading, Jakarta Utara akan disiarkan secara langsung ke tempat simposium di Hotel Shangri-la. Operasi pertama adalah Laparoscopic repair of incisional hernia dengan operator Nixon (UK). Sedangkan operasi kedua Laparoscopic repair of inguinal hernia (single port / LESS surgery) dilakukan oleh David Lomanto (Singapura).

Live surgery merupakan suatu bentuk implementasi teknologi video conference, yaitu dengan mentransfer data digital berupa video, audio, maupun data medis pasien dari ruang operasi ke tempat lain secara wireless (nirkabel). Teknologi jaringan peer to peer (p2p) yang digunakan memungkinkan peserta simposium dan dokter ahli bedah yang terpisah jarak lebih dari 15 km dapat berkomunikasi interaktif real time dua arah. Secara teknis pada jaringan p2p semua komputer/peer terkait dapat bertindak sebagai server yang memiliki kemampuan mendistribusikan, dan sekaligus sebagai client yang dapat menerima data/sumber daya. Karakteristik kunci jaringan ini adalah tidak terdapat sebuah server pusat sebagai pengatur, sehingga bila terjadi masalah pada salah satu komputer/peer, maka jaringan secara keseluruhan tidak akan mengalami gangguan.

Sesi Live Surgery ini akan diadakan pada hari Sabtu, 2 Juli 2011 pukul 08.00-12.00 WIB bertempat di Grand Ballroom Hotel Shangrila Jakarta dengan moderator Errawan R. Wiradisuria (Grand Ballroom) dan Barlian Sutedja (OK RS Gading Pluit).

Kesan, Pesan, dan Harapan Panitia PIT IKABI XVIII

Setelah melalui berbagai proses persiapan PIT IKABI XVIII, dr. R. Suhartono, SpB(K)V memiliki beberapa kesan dan pesan yang menarik untuk disimak. Tim Warta PIT IKABI XVIII menemui Konsultan Bedah Vaskuler yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM ini di kantornya selepas makan siang.

Hal pertama yang ingin beliau sampaikan adalah bahwa meskipun kepanitiaan PIT ini telah dibentuk setahun yang lalu, namun persiapannya terasa singkat. Hal ini terjadi karena tertundanya persiapan PIT akibat banyaknya tanggung jawab pekerjaan masing-masing panitia. Selain itu, kebanyakan peserta forum ilmiah mengumpulkan makalah serta jurnal pada saat-saat terakhir. Seharusnya makalah ilmiah dapat dipersiapkan dari sebelumnya dan dapat diserahkan sejak awal karena acara ini terencana secara rutin. Namun hal ini tetap tergantung dari keaktifan partisipan. Sayangnya, kejadian ini cenderung berulang sehingga semua makalah-makalah dan jurnal diserahkan mendekati batas waktu dan pada akhirnya memberatkan panitia dalam menseleksi. Akibatnya, panitia tidak dapat memberikan hasil yang optimal dalam menjalankan tugasnya.

Selanjutnya, pria yang lahir di Jakarta 49 tahun yang lalu ini menyoroti perihal kesiapan sponsor. Banyak sekali PIT dikerjakan oleh berbagai bagian dalam waktu berdekatan sehingga sponsor agak kesulitan dalam mendukung acara. Dahulu sponsor seakan berlomba-lomba sehingga sesi dan waktu nampaknya selalu kurang. Namun karena kegiatan saat ini sudah mulai banyak, maka perlu dikoordinasi agar tujuan kegiatan tercapai dengan baik dan tidak menjadi beban untuk para sponsor.

PIT merupakan kegiatan rutin yang dibantu oleh event organizer sehingga seharusnya persiapannya tidak terlalu sulit. Namun pada tahun ini ada inovasi baru yaitu akan diadakannya liputan operasi secara live yang selanjutnya dapat langsung didiskusikan. Untuk ke depannya, diharapkan lebih banyak metode seperti ini yang membahas praktek penerapan teknik hasil penelitian terbaru daripada sekedar kuliah instruksional. Oleh karena itu, peserta pun harus memiliki dasar ilmu yang baik sehingga dapat mengikuti materi yang disampaikan. Pada forum-forum seperti ini diharapkan tidak mengulang ilmu-ilmu dasar lagi. Alhamdulillah terobosan ini sekarang sudah terlaksana.

PIT tahun ini bertemakan ‘Teknologi Mutakhir di Bidang Kesehatan’. Pria yang masih menjabat sebagai Ketua Persatuan Bedah Vaskuler Indonesia ini berpendapat bahwa isu ini merupakan suatu tantangan bagi kita karena kita harus dapat menerapkan teknologi mutakhir dan jangan sampai ketinggalan oleh negara-negara lain. Hal ini dapat dikerjakan apabila teknologi ini dimanfaatkan secara bersama-sama. Pemanfaatan teknologi mutakhir juga harus mendapat dukungan dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan, terutama dari sisi jaminan pembiayaan kesehatan. Secara kasat mata teknologi baru memang tampak mahal, namun biasanya lebih cost-effective dari teknik konvensional dilihat dari penurunan morbiditas dan mortalitas. Hal inilah yang seharusnya dijadikan acuan.

Terakhir, beliau berharap semoga PIT bisa berjalan dengan sukses dan lancar baik acara ilmiah maupun keakrabannya (olahraga dan ladies program).

Dr. R. Suhartono, SpB(K)V
Advisor

Kegiatan Ilmiah PIT IKABI XVIII

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) adalah salah satu agenda tahunan IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). Tahun ini, PIT diusulkan untuk diselenggarakan di Jakarta. Dalam tahun penyelenggaraan ke-18 ini, The 18th Annual Scientific Meeting of Indonesian Surgeons Association (PIT IKABI XVIII) bertemakan Transformation of Surgical Technology.Untuk itu terdiri dari pembicara dari dalam maupun luar negeri baik para dokter spesialis bedah maupun pakar-pakar teknologi khususnya di bidang kedokteran. Oleh sebab itu diharapkan pakar-pakar tersebut dapat memberikan wawasan mengenai perkembangan teknologi (bedah) kedokteran terkini.

Salah satu agenda dalam PIT IKABI ke-18 ini, terdapat kegiatan free paper (makalah bebas) di mana para peserta dapat menyajikan hasil penelitian mereka. Jumlah total abstrak free paper yang diterima panitia tahun ini kurang lebih sebanyak 316. Sebanyak 62 abstrak terpilih untuk dipodiumkan, sisanya untuk presentasi poster 254.


Kegiatan free paper ini terdiri dari dua kegiatan.Yang pertama adalah presentasi podium dan presentasi poster-poster penelitian. Untuk podium, peserta akan melakukan presentasi singkat mengenai penelitiannya diikuti sesi tanya jawab. Sedangkan untuk poster, akan dilakukan presentasi keliling yang akan dinilai oleh 2 moderator tiap sesi. Yang dinilai oleh juri dari presentasi podium adalah: hipotesis/tujuan penelitian, originalitas, metodologi, desain penelitian, hasil dan analisisnya, dan pentingnya penelitian tersebut. Sementara untuk poster yang dinilai adalah kemampuan pemahaman, penampilan poster, dan tanya jawab. Penelitian poster dan presentasi ini dinilai oleh wakil dari masing-masing OPLB cabang ilmu bedah, yaitu bedah urologi, bedah orthopaedi, bedah plastik, bedah syaraf, bedah toraks, bedah vaskuler, bedah onkologi dan bedah digestif. Tim juri akan dipimpin bersama oleh Prof. DR. dr. Ign. Riwanto,SpB-KBD dan Ketua Dewan Redaksi Jurnal Ilmu Bedah Indonesia, dr.Theddeus O.H Prasetyono, SpBP.

Acara ini selain meningkatkan kualitas dan partisipasi aktif dalam perkembangan ilmu kedokteran juga dapat membentuk ikatan antar ahli ilmu bedah Indonesia dan merupakan ajang untuk berbagi ilmu sesama rekan sejawat ilmu bedah serta dapat mewujudkan partisipasi aktif dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat bersaing dengan negara lain. Hal ini merupakan dorongan bagi para spesialis bedah Indonesia untuk terus meningkatkan skill dan profesionalismenya.Sehingga memberi harapan untuk memberikan karya yang lebih baik dan kontinuitas dalam berkarya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bidang ilmu bedah.

Terima kasih
Wassalamualaikum Wr Wb
Dr. Chaidir Arif Mochtar, Sp.U, PhD
Coordinator Scientific PIT IKABI XVIII

Sambutan Ketua Panitia PIT IKABI XVIII

Selamat datang para kolega dan teman sejawat di Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Bedah Indonesia ke XVIII. Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya hingga terselenggaranya acara ini.

Ucapan terima kasih kami kepada seluruh peserta PIT IKABI yang ke XVIII dari berbagai tempat di Indonesia yang telah datang untuk menghadiri acara ini, serta kepada seluruh panitia yang telah memberikan segenap kemampuannya untuk menyelengarakan pertemuan ini.

Harapan saya, semoga acara ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, meningkatkan pengetahuan dalam bidang keilmuan kita, mempererat kekeluargaan dan silaturahmi kita keluarga IKABI, juga meningkatkan sportivitas kita melalui kegiatan-kegiatan olahraga yang kami hadirkan pada acara pertemuan ini.

We Welcome You to Enjoy The Capital City of Indonesia.

dr. Agi Satria Putranto, SpB (K)-BD

Sabtu, 02 Juli 2011

Epidemiological Evaluation of Colorectal Cancer at Cipto mangunkusumo Hospital from 2000-2010



Yusak Kristianto, Ibrahim Basir

Purpose:
The incidence of colorectal cancer (CRC) is on the rise, and is the third leading cause of death worldwide. This descriptive study presents the epidemiology of CRC in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia in the past decade, from year 2000-2010.

Methods:
Data is obtained retrospectively from the colorectal database of the Division of Digestive Surgery, Department of Surgery, Faculty of Medicine, University of Indonesia-Cipto Mangunkusumo Hospital. CRC cases presented to us between the year 2000-2010 were included. The variables analyzed include age, gender, anatomical location of the tumor, presenting symptoms, histopathology type, and staging.

Results:
A total of 662 patients with CRC were included in the study. No patient was excluded, the ones with incomplete medical data will be noted. Fifty-two percent of subjects were male, 44,1% were female, giving a ration of 1,2:1. Age were grouped according to Sturgess formula with 7-year interval per group. Most patients belong to the 45-53 years age group (21,8%). Mean age was 50,67 years, the youngest being 18 year-old and the oldest 86 year-old. Fifty-five percent of CRC was located within the rectum. The most common presenting symptoms of CRC located within the colon are changes in bowel habit (83,8%), abdominal pain (65,5%), and palpable abdominal mass (40%). In rectal cancer, patient mostly complain of a change in defecation habit (95,7%), rectal bleeding (85,3%), and mucous faeces (68,2%). Weight loss is found in 33,5% patients. Adenocarcinoma comprises up to 71,6% of cases. Forty-four point four percent of patients were diagnosed at stage III.

Conclusion:
We compare our CRC epidemiologic characteristic to those of the United States National CRC and United Kingdom. A striking difference in the incidence of colorectal cancer by age distribution between Indonesia and other countries (Irak, Iran, Egypt, Saudi Arabian, Jordanian) compared to the western countries. In our institution, similar to other Asian countries, CRC seems to occur most frequently within the younger population (under 45 year-old). In the western countries most CRC are found in population older than 65 years. We also find that there’s no difference between male and female about the incidence of rectal cancer, as found in US, where male has a higher incidence. Another notable difference are the stage of disease at time of presentation. Patients usually present in a more advanced stage in our country and the Asian region (stageIII) compared to that of overseas where cases are detected at earlier stage. A later-stage at presentation translates to a decreased chance of resectability and curability. The most likely cause of this phenomena is allegedly due to the lower health awareness among our population, leading to the delay in seeking medical attention, hence later diagnosis. This finding suggest the need of reinforcing a more reliable community screening program to increase the awareness of early signs of CRC, especially in patients with high risk factors.

Keyword: epidemiology, colorectal cancer, Indonesia

Evaluasi Pembedahan pada Massa Periappendikuler



Syaharudin, Aryono D Pusponegoro

Latar Belakang:
Tatalaksana massa periappendikuler sampai saat ini masih kontroversial. Belum ada satupun yang diterima secara universal, namun pendekatan appendisektomi interval masih dianut oleh sebagian besar ahli bedah, sementara tatalaksana konservatif dan appendisektomi segera belum banyak diteliti. Penelitian retrospektif ini dilakukan untuk mengevaluasi keamanan dan kelayakan prosedur pembedahan appendisektomi segera pada pasien dengan massa periappendikuler.

Metode:
Penelitian dilakukan di RSUD Tangerang selama bulan Januari 2011. Penelitian bersifat retrospektif deskriptif. Terdapat 27 pasien dengan diagnosis massa periappendikuler dan dilakukan operasi appendisektomi segera selama periode 3 tahun (Januari 2008 sampai Desember 2010). Data demografik, klinis, pemeriksaan penunjang, lama rawat dan kompliasi intraoperasi dan pasca operasi dianalisis.

Hasil:
Terdapat 17 (62,9%) wanita dan 10 (37%) laki-laki dengan rerata usia 30,29 (13-60) tahun yang diikutkan dalam penelitian ini. Semua pasien dilakukan operasi appendisektomi segera setelah diagnosa ditegakkan. 75% dilakukan dengan insisi pararectal,. Rerata waktu yang dibutuhkan 62,33 menit, dengan lama rawat pascaoperasi 3,96 hari. Komplikasi didapatkan pada 5 (18,5%) kasus, berupa 3 kasus reseksi parsial omentum, 1 kasus hemikolektomi kanan karena kecurigaan tumor, dan 1 kasus cedera sekum. Komplikasi pascaoperasi didapatkan 1 kasus berupa infeksi luka operasi.

Kesimpulan:
Terapi pembedahan pada pasien dengan massa periappendikuler bisa diterima, aman, dan mencegah adanya misdignosis dan terapi yang disebabkan oleh kelainan patologis bedah yang lain. Diperlukan penelitian prospektif yang membandingkan terapi appendisektomi segera dengan modalitas lain.

Kata kunci: massa periappendikuler, konservatif, appendisektomi segera, appenisektomi interval

Karakteristik Pasien dengan Akses Vaskuler Hemodialisa (Fistula A-V) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode Januari - Desember 2010




Faruly Wijaya S. Limba,  Dedy Pratama 
 
Latar Belakang: 
 Insiden  pasien gagal ginjal kronik (GGK) stadium akhir cenderung meningkat. Hemodialisa telah diterima sebagai suatu  metode perawatan pada pasien GGK stadium 5. Akses vaskuler hemodialisa yang ideal adalah akses yang mampu memfasilitasi dialisis yang adekuat, angka patensi yang sempurna, sedikit komplikasi dan mudah dibuat. Fistula A-V merupakan akses vaskuler yang paling mendekati ideal, sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien GGK.
Metode: 
Penelitian retrospektif, dengan desain deskriptif. Data diperoleh dari arsip form operasi fistula A-V di Divisi Vaskuler dan Endovaskuler Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM tahun 2010 dan dari rekam medis pasien. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS 16.0
Hasil: 
Dari  total 148 subjek penelitian yang diteliti, pasien pria, sebesar 64,2%. Pada 116 subjek, yakni terdapat 4 orang (3,4%) pada kategori usia 11- 20 tahun, 9 orang (7,8%) usia 21-30 tahun, 12 orang (10,3%)  usia 31- 40 tahun, 28 orang (24,1%) usia 41- 50 tahun, 35 orang (30,2%)  usia 51- 60 tahun, 24 orang (20,7%)  usia 61- 70 tahun, dan 4 orang (3,4%)  usia 71 - 80 tahun. Penyebab utama gagal ginjal adalah hipertensi sebesar 37,9%, diabetes mellitus sebesar 30,2%, batu ginjal (9%), genetik (4%), autoimun (3%), dan penyebab lain (21%). Faktor risiko lain yang menyertai penyebab utama adalah penyakit jantung (17,6%), hiperkolesterolemia  (8,4%), serta usia tua (7,6%). Dari subjek – subjek penelitian yang diteliti ini, 29 subjek (19,6%) sudah pernah dilakukan pembuatan AV Shunt sebelumnya. Lokasi pembentukan AV shunt pertama terbanyak adalah pada wrist kiri (33,3%). Lokasi lainnya adalah cubiti kiri (30,3%), wrist kanan (6,1%) dan  lainnya (30,3%). Kemudian pada pembentukan AV Shunt kedua, lokasi AV shunt tersering adalah cubiti kanan (36,4%).  Lokasi lainnya adalah wrist kanan (27,3%), cubiti kiri (9,1%), wrist kiri (9,1%) dan lainnya (18,2%). 69,6% pasien tidak memakai double lumen, sisanyatidak memakai double lumen. Lokasi double lumen terbanyak adalah jugular (45,9%), subclavia (32,4%) dan lainnya (21,7%). Operator  tindakan pemasangan  AV Shunt oleh trainee bedah vaskuler yaitu 53,4%, 36,3% oleh konsultan bedah vaskuler, dan 10,3% oleh residen bedah umum. Kondisi vena superficial, 85,6% baik, sedangkan sisanya (14,4%) buruk. Sebanyak 6,6% subjek terdapat kalsifikasi vena. Kondisi arteri, 91% baik, sedangkan 9% buruk. Pada 17 orang (12,4%) terdapat kalsifikasi pada arterinya, sisanya (87,6%) tidak mengalami kalsifikasi. Diameter  vena superfisialis terkecil adalah 1 mm, terbesar 7 mm, rata -rata 2,9 mm dengan standard deviasi 1,17 mm. Sedangkan diameter  terkecil adalah 3 mm, terbesar 9  mm, rata - rata 3,4 mm dengan standard deviasi 1,44 mm. Anastomosis yang dilakukan, 88 orang (62%) pada direct elbow, 31 orang (21,8%) pada direct wrist, 16  orang (11,3%) direct access, dan lain - lain 7  orang (4,9%). Lamanya  operasi  memakan  waktu  rata  -  rata 79 menit dengan  standard  deviasi 38  menit.

Kata kunci: Gagal ginjal kronik stadium akhir, akses vaskuler hemodialisa, fistula A-V

Seleksi Donor Living Donor Liver Transplant di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta





Kristina Maria S,   Toar JM Lalisang, Andri S Sulaeman
 
Pendahuluan
Di Indonesia, penyakit hati kronik merupakan problem kesehatan masyarakat yang sangat besar. Dengan prevalensi hepatitis B sekitar 5-10% dan hepatitis C sebesar 2.5-3.5% maka jumlah penderita penyakit hati kronik di Indonesia bisa mencapai 20 juta penduduk. Transplantasi hepar menjadi pilihan terapi terhadap End Stage Liver Disease setelah keberhasilan Starzl dan Putnam tahun 1967. Survival 5 tahun pasca transplantasi >50%. Seleksi donor yang baik, serta peningkatan tehnik operasi dan anestesi serta pemilihan antrimicroba serta regimen immunosupresi yang tepat meningkatkan keberhasilan transplantasi. Living Donor Liver Transplant merupakan respon dari kebutuhan donor transplantasi hati terutama di Negara yang sulit menerima donor cadaver

Metoda
Tinjauan proses seleksi pasien donor dan resipien dari rekam medis rumah sakit dan literatur.

Hasil
Kedua  kasus LDLT,  donor berasal dari anggota keluarga yang telah memenuhi syarat seleksi donor yang baik . Tahap 1 : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, tahap 2, penilaian status psikologis, pemeriksan radiologis, tahap 3 biopsi hati dan angiografi serta tahap 4 informed consent, dan cross match. Kasus pertama donor dari anak perempuan kepada ayahnya, dan donor kedua donor dari ayah kepada anak lelakiya. Kedua donor pulang sehat 14 hari pasca operasi.

Kesimpulan
Seleksi donor yang baik sehingga menghasilkan outcome  yang baik

Kata kunci: Living Donor Liver Transplant, seleksi donor, outcome.


Necrotizing Vasculitis in Lucio Phenomenon -An Infrequent Case Reports-





Nyityasmono Tri Nugroho, Dedy Pratama
 
Necrotizing vasculitis leading to cutaneus infarctions is one of entity in Lucio’s phenomenon, an acute lepra reaction in non-nodular diffuse lepromatous leprosy patient. Lucio’s phenomenon is common in Mexico and Central America, but infrequent in other region, include South-East Asia. Prevalence in the second place in the world in number of cases, Brazil, has rates of 4.88 per 10,000 inhabitant. The vasculitis is described by a immune-complex deposition and ischemic necrosis of the epidermis and superficial dermis, heavy infestation of endothelial cells with acid-fast bacilli, and in the deeper dermis can be found endothelial proliferation and thrombosis of larger vessel. Some entities revealed a mimicking with the antiphospholipid thrombotic syndrome (APS), and difficult to distinguished. Lucio’s phenomenon are histologically diagnosed, and anti-leprosy, wound care, antibiotics treated. Here a case, male, 25 y.o, has a purple-bluish color of the tip of digits of bilateral feet and dorsal side of bilateral hand since seven days before admission. He is diagnosed lepra since ten years before admission. Laboratories shows he has APS with elevated anticardiolipin antibodies and beta-2 glycoprotein of immunoglobulin. Under Doppler scanning demarcated a vasculitis without deep vein thrombosis. Histologically revealed a Lucio’s phenomenon lepromatous leprosy type.

Discussion
A Lucio’s phenomenon is a rare cases, and concomittant with APS is a unique entity. Approach of holistic treatment is carefully given, optimal wound care, corticosteroid, leprosy drugs, and antibiotics make a better outcome.

Keywords: Lucio’s phenomenon, antiphospolipid thrombotic syndrome, lepromatous leprosy

'Critical Limb Ischemic' pada Vaskulitis Limfositik Cutaneous




Whiko Irwan Destanto, Dedy Pratama
                                                                                               
Vaskulitis limfositik cutaneous didefinisikan sebagai penyakit autoimun dengan diketemukannya peradangan lokal dari pembuluh darah akibat infiltrasi dinding pembuluh darah  dengan limfosit.Biasanya terjadi pada pembuluh darah kecil, jarang sekali pada pembuluh darah besar.

Melaporkan kasus yang jarang, seorang anak laki-laki  usia 8 tahun dari Indonesia Timur dengan keluhan nyeri dan kehitaman pada ujung-ujung jari kedua tangan dan kaki. Dari pemeriksaan radiologis, imunologi, hematologi dan patologi, ditegakkan diagnosis sebagai  Vasculitis Limfositik.  

Pasien  diberikan  terapi medikamentosa yaitu anti agregasi trombosit, antikoagulan, phlebotonik antibiotik dan kortikosteroid. Setelah damarkasi jelas dan perfusi membaik dilakukan revisi stump dan amputas pada jaringan  nekrotik padai kaki dan tangan.

Kata kunci: Vasculitis , terapi konservatif , amputasi dan revisi stump jari kaki dan tangan

Pengalaman Kasus Appendisitis di RSCM Tahun 2010


Ridho Ardhi Syaiful, Agi Satria Putranto

Pendahuluan:
Apendisitis Akut adalah inflamasi pada dari vermiform appendiks dan ini merupakan kasus operasi intraabdominal tersering  yang memerlukan tindakan bedah. Pada paper ini penulis ingin mendeskripsikan presentasi klinis, dan tatalaksana kasus apendisitis yang ditangani oleh Divisi Bedah Digestif FKUI / RSCM.

Metode:
Dilakukan review rekam medis 235 pasien ditatalaksana oleh Divisi Bedah Digestif FKUI/RSCM dari tahun 2010.

Hasil:
Dari seluruh rekam medis yang ditelaah terdapat 59 kasus appendisitis dengan peritonitis umum, 20 kasus dengan appendisitis akut dengan abses peritoneal,122 kasus appendisitis akut tidak spesifik,  34 kasus appendisitis dengan appendisitis kronis yang tidak spesifik.

Kesimpulan:
Kasus terbanyak pada appendisitis adalah appendisitis akut tidak spesifik. Diagnosis appendisitis yang dilakukan di RSCM mengacu pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang mengarah kepada appendisitis.

Metode FAST dalam Membantu Menentukan Tindakan pada Kasus Trauma Tumpul Abdomen




Hendriek Siahaan , Benny Philippi

Latar Belakang: 
FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) pertamakali dikemukakan oleh Rozycki dkk. (1996).1,2,5 Pada saat awal ditemukannya FAST, paradigma yang berkembang  yaitu pada saat didapatkan cairan bebas intraperitoneal dengan FAST maka dianggap sudah terjadi trauma yang hebat sehingga membutuhkan tindakan laparotomi eksplorasi kemudian pada tahun 1999 Consensus Conference on the Performance of Ultrasound in Trauma  abdomen, 4. hemodinamik stabil, FAST (-) à1,3,6 membuat panduan pada kasus trauma tumpul abdomen sebagai berikut: 1. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil, FAST (+) langsung dilakukan laparotomi, 2. Pasien hemodinamik tidak stabil, FAST (-) harus dicari sumber perdarahan lain, 3. Pasien dengan hemodinamik stabil, FAST (+) dilakukan CT Scan pemeriksaan serial per 6 jam (USG/CT Scan)
Tujuan: 
Mengetahui metode FAST dalam membantu mempercepat keputusan penanganan pasien trauma tumpul abdomen.
Metode: 
Penelitian retrospektif dari data rekam medis pasien trauma tumpul abdomen yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak awal bulan Januari 2004 – 31 Desember 2009.
Hasil: 
Pada periode lima tahun didapatkan 73 pasien trauma tumpul abdomen dimana usia terbanyak yang mengalami trauma tumpul abdomen adalah antara 21 – 30 tahun yaitu sebanyak 31 pasien (42,47%) dengan jenis kelamin terbanyak dialami oleh laki-laki yaitu sebanyak 65 pasien (89,04%). Jumlah pasien dengan kondisi hemodinamik tidak stabil sebanyak 19 pasien (26.03%) dan 54 (73,97%) pasien dengan hemodinamik stabil. Jumlah pasien yang memerlukan tindakan operasi (laparotomi) adalah sebanyak 42 pasien (57,53%) dan 30 pasien (41,10%) hanya dilakukan tindakan konservatif. Jumlah pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan dilakukan operasi (laparotomi) sebanyak 17 pasien (23,29%) dan jumlah pasien dengan hemodinamik stabil yang dilakukan operasi adalah sebanyak 25 pasien (34,25%). Berdasarkan perbandingan hasil pemeriksaan FAST dengan temuan intraoperatif didapatkan bahwa pada pasien dengan cairan bebas di Morison’s pouch, splenorenal pouch, parivesika dan parakolika didapatkan temuan intraoperatif jumlah perdarahan lebih dari 1000 cc sebanyak 13 pasien dan terdapat 2 pasien dengan hasil FAST positif  pada salah satu tempat di intraperitoneal tetapi pada temuan intraoperatif didapatkan cairan bebas sebanyak lebih dari 1000 cc. Pada temuan intraoperatif didapatkan ruptur lien sebanyak 12 pasien, rupture hepar sebanyak 8 pasien, perforasi viscus sebanyak 4 pasien, dan  cedera retroperitoneal  sebanyak 9 pasien.
Kesimpulan: 
Adanya cairan bebas yang menempati banyak tempat di intraperitoneal pada metode FAST merupakan sinyal bagi kita untuk mempertimbangkan tindakan laparotomi segera.