Selamat Datang!

Blog Bedah Umum FKUI merupakan sarana berbagi informasi mengenai tatalaksana kasus bedah, karya tulis para residen, informasi akademis, wacana dunia bedah hingga kegiatan-kegiatan kami. Blog ini dibuat pada tahun 2009 dan dikelola oleh residen Ilmu Bedah FKUI. Diharapkan blog ini bisa menjadi sarana berbagi kabar, informasi, serta berdiskusi antar konsulen, trainee, dan residen bedah baik dari FKUI maupun fakultas kedokteran lain di Indonesia. Semoga kehadiran blog ini dapat memperkaya wawasan dan keilmuan kita sebagai Dokter Spesialis Bedah maupun calon Dokter Spesialis Bedah masa depan. Semoga bermanfaat!

Rabu, 15 Februari 2012

Minimally Invasive Surgery di Bidang Hepatobilier; Pengalaman dr. Maria Mayasari, SpB, K-BD

Pembedahan minimally invasive semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi di bidang bedah dan juga tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Keuntungan dilakukannya pendekatan ini antara lain berkurangnya nyeri pasca operasi dan berkurangnya lama rawat. Di masa datang, penggunaan pendekatan ini untuk berbagai tindakan di bidang hepatobilier dan pankreas akan semakin luas, seiring dengan kemajuan instrumen dan teknologi seperti penggunaan robotic dan single port. Adalah dr. Maria Mayasari, SpB, K-BD, yang lebih akrab disapa dr. Mamay, konsultan bedah digestif wanita pertama di FKUI/RSCM yang berkesempatan mendalami pembedahan minimally invasive di bidang hepatobilier selama satu tahun di National University Hospital, Singapura. Kepada tim Blog Bedah Umum FKUI beliau menceritakan pengalamannya.

Gambar 1. dr. Mamay saat menjalani wawancara

Dr. Mamay adalah seorang ahli bedah digestif sekaligus Ibu dari tiga orang anak. Beliau menjalani pendidikan kedokteran di FKUI pada tahun 1993 hingga 1999, lalu melanjutkan pendidikan spesialis bedah umum pada tahun 2000 hingga 2006. Setelah lulus sebagai spesialis bedah, beliau menjalani masa PTT di RSUD Kalabahi, Alor, NTT selama enam bulan.


Ketika menjalani PPDS 2, awalnya dr. Mamay menekuni bidang kolorektal dengan dr. Ibrahim Basir, SpB, K-BD sebagai mentornya. Perjalanan dr. Mamay di bidang hepatobilier diawali dengan membuat tulisan di bawah bimbingan dr. Toar J M Lalisang, SpB, K-BD yang berhasil dibawakan di kongres internasional di Bangkok pada tahun 2009. Kemudian kesempatan datang dari Prof. dr. L A Lesmana, SpPD, KGEH yang menawarkan kerjasama di bidang hepatobilier. Beliau memiliki kenalan yang menawarkan kesempatan fellowship ke Singapura dan Belanda. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan rumit, akhirnya dr. Mamay berangkat untuk mengikuti fellowship selama satu tahun di National University Hospital di Singapura, di bawah bimbingan Dr. Stephen Chang (saat ini sudah Profesor), pionir pembedahan minimally invasive hepatobilier yang pertama kali melakukan teknik single port di Singapura.
Gambar 2. Dr. Mamay menerima piagam Clinical Fellowship dari mentornya di Singapura, Dr. Stephen Chang

Kegiatan pokok dr. Mamay selama di Singapura yaitu melakukan penelitian mengenai alat simulasi laparoskopi, penelitian yang membandingkan antara single port laparoscopic cholecystectomy dengan konvensional, dan beberapa penelitian lainnya. Objektif yang diberikan oleh Dr. Chang yaitu selama masa fellowship dr. Mamay harus mempublikasikan dua penelitian. Selain itu, dr. Mamay juga diminta membantu operasi pasien pribadi Dr. Chang di luar jam kerja dan membantu pendidikan residen. Dokter Mamay sendiri memiliki target untuk dapat menguasai reseksi hepar. Dokter Mamay juga diberi kepercayaan untuk melakukan operasi laparoskopik kolesistektomi serta berkesempatan menjadi asisten pembedahan dengan robotic yang pada saat itu baru pertama kali dilakukan di Singapura. Di akhir masa fellowship, seluruh objektif telah dapat dipenuhi.

Gambar 3. Ilustrasi pembedahan laparoskopik (tampak luar)
Gambar 4. Laparoskopik kolesistektomi

Terdapat beberapa tantangan dalam melakukan operasi dengan robotic, salah satunya yaitu pendekatan terhadap pasien. Diakui Dr. Chang bahwa pasien yang pertama kali dioperasi dengan menggunakan teknik robotic telah diberikan penjelasan selama satu tahun hingga akhirnya bersedia. Sebelum melakukan operasi pada pasien, Dr. Chang melakukan latihan dengan menggunakan hewan percobaan. Kemudian di tengah berjalannya operasi diputuskan untuk konversi ke open. Pembedahan dengan teknik robotic yang kedua dapat dilalui dengan sukses.

Gambar 5. Ilustrasi tindakan pembedahan minimally invasive

Pembedahan minimally invasive pada bidang hepatobilier dan pankreas dimulai dengan penggunaan laparoscopy cholecystectomy untuk pertama kalinya oleh Erich Muhe pada tahun 1985. Sejak saat itu, penggunaan laparoskopi berkembang dengan pesat hingga meluas ke hampir seluruh bidang pembedahan. Di lain pihak, penggunaan laparoskopi di bidang hepatobilier tidak berkembang sepesat bidang lainnya seperti di bidang orthopaedi dan kolorektal.

Beberapa tindakan pembedahan bidang hepatobilier yang pernah dilakukan menggunakan pendekatan laparoskopik selain laparoskopi kolesistektomi antara lain eksplorasi ductus choledochus, penestrasi kista hepar, drainase abses hepar, splenektomi, pankreatektomi distal, cystogastrostomy/cystoenterostomy untuk kista pankreas, dan pankreatikoduodenektomi. Contoh tindakan pembedahan minimally invasive hepatobilier dapat dilihat melalui tautan video ini.

Gambar 6. Proses wawancara tim Blog Bedah Umum FKUI dengan Dr. Mamay

Bagaimana dengan kemampulaksanaan teknik pembedahan minimally invasive ini di Indonesia? Berkembangnya teknologi dalam pembedahan hepatobilier ini juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pasien. Diakui dr. Mamay bahwa biayanya memang cukup tinggi, namun masih tetap lebih tinggi apabila melakukan pembedahan ini di Singapura, karena selain biaya transport dan akomodasi pasien beserta keluarga, biaya perawatan pasien juga pasti lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang mengharuskan pasien asing dirawat minimal di kelas 1. Saat menjalani fellowship, dr. Mamay juga memiliki misi khusus yaitu mengkondisikan agar perbedaan fasilitas di Singapura dengan di Indonesia tidak menjadi penghambat sehingga teknik pembedahan ini tetap dapat dilakukan.

Terakhir, dr. Mamay berpesan kepada para residen bedah bahwa kesempatan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena kesempatan mungkin hanya akan datang satu kali. Beliau juga berpesan bahwa Blog Bedah Umum FKUI memang sudah saatnya untuk digiatkan, namun dalam menyajikan kasus harus benar-benar memperhatikan hak privasi pasien, jangan sampai dilanggar. Baiklah, semoga pengalaman dr. Mamay dapat menjadi inspirasi bagi kami untuk menjalani masa pendidikan dengan bersungguh-sungguh. Sukses selalu untuk dr. Mamay! (WA, MPR, DF, NSB, ONH, ML, ASF, CS)

Rabu, 18 Januari 2012

UPDATE Soelarto Cup 2012

Pekan kedua, 15 Januari 2012

IDI vs IKA: 7-1
Anestesi vs Bedah B: 3-0
Obsgyn vs Mata: 1-0
Bedah A vs IPD: 4-2

Minggu, 08 Januari 2012

Skor Soelarto Cup - 8 Januari 2012

Pada hari ini, telah dilaksanakan pembukaan Soelarto Cup 2012, yang diselenggarakan di lapangan bola Soemantri, Kuningan, dan dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. H. Errol U. Hutagalung, SpB, SpOT.


Adapun perolehan skor hari ini adalah sebagai berikut:
Bedah A VS IDI : 7-0
Anestesi VS Kardio : 2-1
Pulmo VS IPD : 0-0
Bedah B VS Mata : 2-0


Pertandingan selanjutnya akan diadakan pada 15 Januari 2012. Nantikan update-update selanjutnya dari kami.



Rabu, 28 Desember 2011

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA




Novrizal Saiful Basri, Margaretta Limawan, Odetta Natatilova, Rachmawati 
Translator: Adrian Salim, Andrio Wishnu Prabowo, Arnetta Naomi L. Lalisang, Julistian, Muliyadi, Sony Sanjaya, Stefanny, Zamzania Anggia Shalih.  
Surgery Department FMUI – Cipto Mangunkusumo Hospital, December 2011 


CASE ILLUSTRATION
A 73 year old male came to the hospital with chief complaint of changes in urinary flow. He noticed weaker urinary flow with incomplete emptying of the bladder and occasional dribbling since two years prior hospital visit. There was history of red-colored urine, pain in the end of urination and an increased frequency of urination, especially at night. Assessment with IPSS showed a score of 27. There was no history of flank pain, cloudy urine, fever, nausea and vomiting. The patient had two episodes of stroke, but no history of diabetes mellitus and hypertension.
Physical examination demonstrated hypertension of 160/90 mmHg with no palpable mass or tenderness on Costo Vertebro Angle (CVA). No palpable mass and pain with palpation on the suprasymphisis area, bladder is empty. No stenosis was found at the external urethral orifice. Digital rectal examination showed normal resting anal sphincter tone, smooth and symmetrical prostate gland with firm consistency, no tenderness or nodule found. Prostate was estimated to weigh around 40 grams.
Laboratory tests showed normal levels of full blood count and kidney function, uric acid 9.4 mg/dl, total PSA 10.01 mg/dl. Urinalysis results are within normal values. Abdominal radiography revealed an apparent bladder stone of 35 x 25 mm , while sonography found bladder stone and left kidney stone. Uroflowmetry test showed Qmax value of 6.7 ml/sec; Q average 4.7 mL/sec; Void Volume 72 cc. Sonography of the prostate found the Rest Volume is 30 cc; Prostate Protrusion 9.59 mm; Prostate Size 110 cc (figure 1). Pathology report showed findings consistent with prostate hyperplasia.
The patient is then diagnosed with Benign Prostate Hyperplasia (BPH) and vesicolithiasis; and is planned to undergo cystoscopy and biopsy, sectio alta, and open prostatectomy.




Figure 1. Sonography of the Prostate  
LITERATURE REVIEW
DEFINITION AND EPIDEMIOLOGY
Benign prostate hyperplasia (BPH) is a histopathologic term used to describe a true hyperplasia of the cells in the transitional zone of the prostate. The incidence of BPH is age-related with an estimated incidence of 70% in male above age 60 years; this number increases up to 90% in male above 80 years. Urology Department Cipto-Mangunkusumo Hospital (RSCM) reported 200-300 cases of BPH annually. While not immediately life-threatening, BPH may cause lower urinary tract symptoms (LUTS) that interfere with activity of daily living, thus significantly reduce patient’s quality of life.


DIAGNOSIS
Diagnosis of BPH is usually made using initial assessment with additional tests. One of the tool widely used to guide the identification of LUTS in BPH is the International Prostate Symptom Score (IPSS) (Figure 2). Digital rectal examination (DRE) may help assess the size and consistency of the prostate gland, while simultaneously detect any nodules that are suspicious for malignancy and assess anal sphincter tone and bulbocavernous reflex that indicate abnormalities in sacral reflex arc.

Figure 2. The Questionnaire for International Prostate Symptom Score (IPSS)


After the initial assessment, there are several tests available that help the diagnosis and management of BPH patients, including kidney function tests, prostate specific antigen (PSA) level, urinalysis, voiding diary, uroflowmetry, post voiding residual urine (PVR), urinary tract imaging, urethrocystoscopy, and urodynamic (pressure flow) study. The diagnosis of BPH usually consists of clinical examination (including DRE), urinalysis and sonography of the prostate.

MANAGEMENT
The goal of therapy in BPH focused mainly in improving patient’s quality of life. There are three different approaches available, each with its own modalities: (1) watchful waiting, (2) medical treaments, and (3) surgical intervention. Doctors will choose which approach is used based on the degree of symptoms, patient’s general health condition and the objective findings caused by the disease and other comorbidities.

Watchful waiting is advised for patients with an IPSS score below 7, which indicates mild symptoms with no interference on activity of daily living. Patient will not get any medical or surgical intervention, but advised of what kind of changes that prompt immediate consult to doctor. Doctor will also monitor the patient closely for any changes in the severity of the signs and symptoms.

At some point, patients will need medication to help ease the symptoms. As a general rule, patients with IPSS score >7 will need medical treatment with/or other interventions. The goal of medical treatment is to (1) reduce the prostate smooth muscles resistance (dynamic component) and (2) reduce the size of the prostate (static component).

Surgical intervention can be classified into two groups: ablative technique of the prostate gland (open prostatectomy, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatectomy) and instrumentation technique (interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, baloon dilatation, urethral stent).













Figure 3. Open Prostatectomy with Suprapubic Approach


Open prostatectomy (figure 3) is the oldest, most invasive yet the most efficient way of surgical intervention with reported improvement of symptoms 98%. This open prostatectomy is done either with transvesical or retropubic approach. Prostate, internal urethral orifice and ureter orifice are then identified. Mucosa is then incised beside the internal urethral orifice at the 6 to 12 o’clock, followed by fracturation and prostate enucleation. 


Glossary
Nocturia              : [nox night + -uria] excessive urination at night 

Urgency              : the sudden irresistable urge to void

Prostatectomy :[prostate + -ectomy] the removal of whole/part of the prostate gland 

Cystoscopy        : direct visual examination of the urinary tract using cystoscope



REFERENCES:
  1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. [Accessed at 20 Oktober 2011]. Available at: http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf.
  2. Roehrborn CG. Benign prostatic hyperplasia: etiology, pathophysiology, epidemiology, and natural history. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 2556-96
  3. Han M, Partin AW. Retropubic and suprapubic open prostatectomy. In: Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 2695-703
  4. Syahputra FA, Umbas R. Diagnosis dan tatalaksana pembesaran prostat jinak: Peran antagonis reseptor adrenergik-α dan inhibitor 5-α reduktase. In: Birowo P, Syahputra FA, Ririmasse MP, Ismet MF, editor. Common Urologic Problems in Daily Primary Practice (CUPID) 2010. Ed 2. Jakarta: PLD FKUI dan Departemen Urologi FKUI RSCM; 2010. p.74-80.
  5. Rahardjo D. Prostat: kelainan-kelainan jinak, diagnosis dan penanganan. Jakarta: Sub Bagian Urologi Bagian Bedah FKUI; 1999. p.15-60.
  6. AUA practice guidelines committee. AUA guideline on management of benign prostatic hyperplasia. Chapter 1: diagnosis and treatment recommendations. American Urological Association 2010.
  7. Dorland, WA Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Huriawati Hartanto et al, editor. 29th ed. Jakarta: EGC; 2002.