Halaman

Rabu, 15 Februari 2012

Minimally Invasive Surgery di Bidang Hepatobilier; Pengalaman dr. Maria Mayasari, SpB, K-BD

Pembedahan minimally invasive semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi di bidang bedah dan juga tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Keuntungan dilakukannya pendekatan ini antara lain berkurangnya nyeri pasca operasi dan berkurangnya lama rawat. Di masa datang, penggunaan pendekatan ini untuk berbagai tindakan di bidang hepatobilier dan pankreas akan semakin luas, seiring dengan kemajuan instrumen dan teknologi seperti penggunaan robotic dan single port. Adalah dr. Maria Mayasari, SpB, K-BD, yang lebih akrab disapa dr. Mamay, konsultan bedah digestif wanita pertama di FKUI/RSCM yang berkesempatan mendalami pembedahan minimally invasive di bidang hepatobilier selama satu tahun di National University Hospital, Singapura. Kepada tim Blog Bedah Umum FKUI beliau menceritakan pengalamannya.

Gambar 1. dr. Mamay saat menjalani wawancara

Dr. Mamay adalah seorang ahli bedah digestif sekaligus Ibu dari tiga orang anak. Beliau menjalani pendidikan kedokteran di FKUI pada tahun 1993 hingga 1999, lalu melanjutkan pendidikan spesialis bedah umum pada tahun 2000 hingga 2006. Setelah lulus sebagai spesialis bedah, beliau menjalani masa PTT di RSUD Kalabahi, Alor, NTT selama enam bulan.


Ketika menjalani PPDS 2, awalnya dr. Mamay menekuni bidang kolorektal dengan dr. Ibrahim Basir, SpB, K-BD sebagai mentornya. Perjalanan dr. Mamay di bidang hepatobilier diawali dengan membuat tulisan di bawah bimbingan dr. Toar J M Lalisang, SpB, K-BD yang berhasil dibawakan di kongres internasional di Bangkok pada tahun 2009. Kemudian kesempatan datang dari Prof. dr. L A Lesmana, SpPD, KGEH yang menawarkan kerjasama di bidang hepatobilier. Beliau memiliki kenalan yang menawarkan kesempatan fellowship ke Singapura dan Belanda. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan rumit, akhirnya dr. Mamay berangkat untuk mengikuti fellowship selama satu tahun di National University Hospital di Singapura, di bawah bimbingan Dr. Stephen Chang (saat ini sudah Profesor), pionir pembedahan minimally invasive hepatobilier yang pertama kali melakukan teknik single port di Singapura.
Gambar 2. Dr. Mamay menerima piagam Clinical Fellowship dari mentornya di Singapura, Dr. Stephen Chang

Kegiatan pokok dr. Mamay selama di Singapura yaitu melakukan penelitian mengenai alat simulasi laparoskopi, penelitian yang membandingkan antara single port laparoscopic cholecystectomy dengan konvensional, dan beberapa penelitian lainnya. Objektif yang diberikan oleh Dr. Chang yaitu selama masa fellowship dr. Mamay harus mempublikasikan dua penelitian. Selain itu, dr. Mamay juga diminta membantu operasi pasien pribadi Dr. Chang di luar jam kerja dan membantu pendidikan residen. Dokter Mamay sendiri memiliki target untuk dapat menguasai reseksi hepar. Dokter Mamay juga diberi kepercayaan untuk melakukan operasi laparoskopik kolesistektomi serta berkesempatan menjadi asisten pembedahan dengan robotic yang pada saat itu baru pertama kali dilakukan di Singapura. Di akhir masa fellowship, seluruh objektif telah dapat dipenuhi.

Gambar 3. Ilustrasi pembedahan laparoskopik (tampak luar)
Gambar 4. Laparoskopik kolesistektomi

Terdapat beberapa tantangan dalam melakukan operasi dengan robotic, salah satunya yaitu pendekatan terhadap pasien. Diakui Dr. Chang bahwa pasien yang pertama kali dioperasi dengan menggunakan teknik robotic telah diberikan penjelasan selama satu tahun hingga akhirnya bersedia. Sebelum melakukan operasi pada pasien, Dr. Chang melakukan latihan dengan menggunakan hewan percobaan. Kemudian di tengah berjalannya operasi diputuskan untuk konversi ke open. Pembedahan dengan teknik robotic yang kedua dapat dilalui dengan sukses.

Gambar 5. Ilustrasi tindakan pembedahan minimally invasive

Pembedahan minimally invasive pada bidang hepatobilier dan pankreas dimulai dengan penggunaan laparoscopy cholecystectomy untuk pertama kalinya oleh Erich Muhe pada tahun 1985. Sejak saat itu, penggunaan laparoskopi berkembang dengan pesat hingga meluas ke hampir seluruh bidang pembedahan. Di lain pihak, penggunaan laparoskopi di bidang hepatobilier tidak berkembang sepesat bidang lainnya seperti di bidang orthopaedi dan kolorektal.

Beberapa tindakan pembedahan bidang hepatobilier yang pernah dilakukan menggunakan pendekatan laparoskopik selain laparoskopi kolesistektomi antara lain eksplorasi ductus choledochus, penestrasi kista hepar, drainase abses hepar, splenektomi, pankreatektomi distal, cystogastrostomy/cystoenterostomy untuk kista pankreas, dan pankreatikoduodenektomi. Contoh tindakan pembedahan minimally invasive hepatobilier dapat dilihat melalui tautan video ini.

Gambar 6. Proses wawancara tim Blog Bedah Umum FKUI dengan Dr. Mamay

Bagaimana dengan kemampulaksanaan teknik pembedahan minimally invasive ini di Indonesia? Berkembangnya teknologi dalam pembedahan hepatobilier ini juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pasien. Diakui dr. Mamay bahwa biayanya memang cukup tinggi, namun masih tetap lebih tinggi apabila melakukan pembedahan ini di Singapura, karena selain biaya transport dan akomodasi pasien beserta keluarga, biaya perawatan pasien juga pasti lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang mengharuskan pasien asing dirawat minimal di kelas 1. Saat menjalani fellowship, dr. Mamay juga memiliki misi khusus yaitu mengkondisikan agar perbedaan fasilitas di Singapura dengan di Indonesia tidak menjadi penghambat sehingga teknik pembedahan ini tetap dapat dilakukan.

Terakhir, dr. Mamay berpesan kepada para residen bedah bahwa kesempatan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena kesempatan mungkin hanya akan datang satu kali. Beliau juga berpesan bahwa Blog Bedah Umum FKUI memang sudah saatnya untuk digiatkan, namun dalam menyajikan kasus harus benar-benar memperhatikan hak privasi pasien, jangan sampai dilanggar. Baiklah, semoga pengalaman dr. Mamay dapat menjadi inspirasi bagi kami untuk menjalani masa pendidikan dengan bersungguh-sungguh. Sukses selalu untuk dr. Mamay! (WA, MPR, DF, NSB, ONH, ML, ASF, CS)